Artikel Pertanian

Transformasi Agraris 4.0: Analisis Komprehensif dan Prospek Implementasi Drone Pertanian untuk Ketahanan Pangan Indonesia

Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai implementasi teknologi drone untuk pertanian tanaman pangan di Indonesia. Di tengah tantangan regenerasi petani, kelangkaan tenaga kerja, dan tuntutan peningkatan produktivitas, drone muncul sebagai teknologi transformatif dengan potensi signifikan. Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa drone menawarkan keunggulan efisiensi yang luar biasa dibandingkan metode manual. Untuk aplikasi penyemprotan, drone mampu menghemat waktu hingga lebih dari 90% dan mengurangi biaya tenaga kerja secara substansial, dengan biaya sewa per hektar yang jauh lebih rendah daripada upah tenaga kerja manual. Efisiensi serupa juga terbukti dalam aplikasi pemupukan granul dan penanaman benih padi, di mana drone dapat memangkas waktu dan biaya operasional secara drastis tanpa mengorbankan hasil panen.

Secara internasional, Indonesia dapat memetik pelajaran berharga dari para pemimpin adopsi drone di Asia. India menunjukkan kekuatan intervensi kebijakan yang masif melalui skema subsidi “Kisan Drone” dan “Namo Drone Didi” yang agresif, yang secara efektif mengakselerasi distribusi perangkat keras. Thailand, di sisi lain, berhasil membangun ekosistem berbasis komunitas melalui program “One Tambon One Digital”, yang berfokus pada pelatihan sumber daya manusia dan pengembangan model bisnis Drone-as-a-Service (DaaS) dari akar rumput. Sementara itu, Vietnam mengintegrasikan drone ke dalam strategi modernisasi pertanian nasional yang komprehensif, didukung oleh kemitraan kuat antara pemerintah dan sektor swasta. Cina berdiri sebagai tolok ukur tertinggi, di mana drone bukan lagi alat yang berdiri sendiri, melainkan simpul terintegrasi dalam ekosistem smart farming yang mencakup AI, IoT, dan robotika.

Namun, adopsi di Indonesia menghadapi “paradoks”: di satu sisi terdapat dorongan kuat dari pemerintah melalui program Smart Farming 4.0 dan bukti keberhasilan di tingkat petani; di sisi lain, proses ini terbelenggu oleh hambatan regulasi yang kompleks dan lambat, terutama terkait perizinan dari Kementerian Perhubungan, serta biaya investasi awal yang tinggi bagi petani.

Untuk membuka potensi penuh teknologi ini, laporan ini merekomendasikan serangkaian langkah strategis. Pertama, reformasi regulasi yang mendesak melalui pembentukan gugus tugas lintas kementerian untuk menciptakan kerangka kerja yang fasilitatif dan berbasis risiko. Kedua, adopsi model kebijakan hibrida “Kisan-Tambon” yang menggabungkan subsidi bertarget ala India untuk kelompok tani dan koperasi dengan pembangunan ekosistem pelatihan berbasis komunitas ala Thailand untuk menciptakan pasar DaaS yang sehat. Ketiga, penguatan kemitraan pemerintah-swasta untuk menciptakan skema pembiayaan inovatif dan platform digital nasional. Terakhir, pembangunan ekosistem domestik yang berdaulat melalui insentif Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), pendanaan pusat R&D, dan standardisasi oleh Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP). Implementasi rekomendasi ini akan mengakselerasi transformasi sektor pertanian Indonesia, meningkatkan produktivitas, menarik generasi baru petani, dan pada akhirnya memperkuat ketahanan pangan nasional.

1. Analisis Kuantitatif Efektivitas Drone di Pertanian Pangan Indonesia: Sebuah Perbandingan Komprehensif

Evaluasi terhadap kelayakan adopsi teknologi drone di sektor pertanian tanaman pangan harus berlandaskan pada data kuantitatif yang solid. Analisis ini secara sistematis membandingkan kinerja drone dengan metode manual konvensional dalam tiga aplikasi krusial: penyemprotan presisi (pestisida dan pupuk cair), pemupukan granul, dan penanaman benih padi. Data yang dikumpulkan dari berbagai studi lapangan di Indonesia menunjukkan bahwa drone tidak hanya menawarkan peningkatan efisiensi marginal, tetapi sebuah lompatan kuantum dalam produktivitas, efisiensi biaya, dan ketepatan waktu operasional.

1.1. Penyemprotan Presisi (Pestisida & Pupuk Cair)

Penyemprotan pestisida dan pupuk cair merupakan salah satu aktivitas paling umum dan krusial dalam budidaya tanaman pangan. Metode konvensional yang mengandalkan tenaga manusia dengan knapsack sprayer (alat semprot gendong) kini dihadapkan pada alternatif teknologi drone sprayer yang menunjukkan superioritas di berbagai metrik.

Efisiensi Waktu

Keunggulan paling dramatis dari drone sprayer terletak pada efisiensi waktu. Berbagai studi lapangan di Indonesia secara konsisten menunjukkan kemampuan drone untuk menyelesaikan pekerjaan penyemprotan dalam waktu yang sangat singkat. Sebuah drone dapat mencakup lahan seluas 1 hektar hanya dalam 0.17 hingga 0.25 jam, atau setara dengan 10 hingga 15 menit.1 Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) bahkan mencatat waktu penyemprotan 29 menit per hektar, yang masih menunjukkan kecepatan luar biasa.5

Angka-angka ini sangat kontras dengan metode manual. Penyemprotan dengan knapsack sprayer untuk lahan seluas 1 hektar yang sama membutuhkan waktu antara 11.57 hingga 12 jam kerja.2 Beberapa laporan petani bahkan menyebutkan proses ini bisa memakan waktu hingga satu hari penuh.4 Secara matematis, ini berarti drone bekerja

20 hingga 68 kali lebih cepat dibandingkan tenaga manusia.7 Efisiensi ini, jika diukur dalam persentase penghematan waktu, mencapai lebih dari

93%.8

Kecepatan ini bukan sekadar kemewahan, melainkan sebuah kapabilitas strategis. Dalam kasus serangan hama yang menyebar cepat seperti keong mas (Pomacea canaliculata), kemampuan untuk merespons dalam hitungan jam, bukan hari, sangat menentukan tingkat kerusakan panen. Sebuah studi menunjukkan bahwa penyemprotan dengan drone menghasilkan intensitas serangan keong mas yang lebih rendah (10.96%) dibandingkan dengan penyemprotan manual (12.60%), yang mengindikasikan bahwa kecepatan respons mampu menekan laju penyebaran hama secara lebih efektif.3

Efisiensi Biaya

Penghematan biaya yang signifikan terutama berasal dari pengurangan kebutuhan tenaga kerja. Biaya upah untuk penyemprotan manual menjadi komponen variabel yang besar dalam usahatani. Di Tulungagung, misalnya, biaya tenaga kerja manual untuk menyemprot 1 hektar dilaporkan mencapai Rp 250.000.4 Di Jombang, biaya ini diperkirakan setara dengan upah dua orang pekerja selama sehari penuh, yang terkadang belum juga selesai.9 Analisis biaya usahatani padi yang lebih luas menunjukkan bahwa alokasi biaya untuk upah tenaga kerja penyemprotan (dalam Hari Orang Kerja/HOK) berkisar antara

Rp 270.301 hingga Rp 355.177 per hektar 10, dengan standar upah harian (HOK) berada di rentang Rp 74.000 hingga Rp 120.000 per orang.11

Di sisi lain, pasar jasa penyewaan drone telah berkembang dengan harga yang sangat kompetitif. Biaya sewa drone sprayer untuk 1 hektar lahan berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 250.000.4 Dengan mengambil titik tengah perbandingan, misalnya di Tulungagung, penggunaan drone menawarkan penghematan biaya langsung sebesar

Rp 150.000 per hektar hanya dari komponen tenaga kerja.4

Efisiensi Material (Pupuk/Pestisida)

Drone memungkinkan aplikasi input pertanian yang lebih presisi, yang berujung pada penghematan material. Hal ini dimungkinkan oleh teknologi atomization pada nozzle drone yang menghasilkan butiran cairan (droplet) yang sangat halus. Droplet halus ini memiliki luas permukaan yang lebih besar, membuatnya lebih mudah menempel dan diserap oleh permukaan daun, serta mengurangi jumlah cairan yang jatuh ke tanah (runoff).14

Sebuah studi kasus pada pemupukan cair organik di Desa Sobokerto menunjukkan bahwa metode manual membutuhkan 100 liter pupuk per hektar, sementara drone hanya memerlukan 80 liter per hektar. Ini merupakan pengurangan pemborosan pupuk sebesar 20%.6 Studi lain yang lebih ekstrem melaporkan pengurangan kebutuhan air dari 300 liter per hektar secara manual menjadi hanya 15 liter per hektar dengan drone, yang menyoroti potensi aplikasi volume sangat rendah atau

Ultra-Low Volume (ULV).16 Efisiensi ini tidak hanya mengurangi biaya pembelian input, tetapi juga meminimalkan dampak lingkungan dari penggunaan bahan kimia yang berlebihan.

Efektivitas Agronomis

Kekhawatiran bahwa pengurangan jumlah input akan berdampak negatif pada hasil panen ternyata tidak terbukti. Sejumlah penelitian komparatif menemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan secara statistik dalam berat gabah kering panen per rumpun antara perlakuan menggunakan drone dan knapsack sprayer.2 Ini membuktikan bahwa efisiensi drone tidak mengorbankan produktivitas akhir.

Bahkan, dalam beberapa aspek, drone terbukti lebih efektif. Selain menekan intensitas serangan keong mas, penyemprotan herbisida dengan drone juga menghasilkan kepadatan gulma absolut yang lebih rendah (2.20 individu/m²) dibandingkan dengan metode manual (18.6 individu/m²).2 Hal ini menunjukkan bahwa cakupan semprotan drone yang lebih merata dan konsisten mampu mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT) secara lebih superior.

1.2. Pemupukan Granul (Pupuk Butiran)

Selain penyemprotan cair, drone juga dikembangkan untuk aplikasi input padat, khususnya pupuk berbentuk butiran (granul), menggunakan alat yang disebut granular spreader. Teknologi ini menawarkan jalur efisiensi yang berbeda namun sama pentingnya.

Efisiensi Waktu dan Biaya

Drone yang dilengkapi granular spreader memiliki kapasitas kerja yang tinggi, mampu memupuk lahan seluas 0.8 hingga 1 hektar per jam.17 Kecepatan ini jauh melampaui metode tebar manual yang mengandalkan tenaga manusia.

Dari sisi biaya, perbandingannya juga sangat signifikan. Sebuah analisis menunjukkan bahwa total biaya pemupukan granul per hektar dengan metode manual mencapai sekitar Rp 2.000.000. Dengan menggunakan drone, biaya ini dapat ditekan menjadi sekitar Rp 1.400.000, yang berarti penghematan biaya tenaga kerja sebesar Rp 600.000 per hektar.17 Penghematan ini terutama berasal dari eliminasi kebutuhan upah borongan untuk penebaran pupuk manual.

Efektivitas Agronomis dan Tantangan Teknis

Meskipun lebih cepat dan lebih murah, efektivitas pemupukan granul dengan drone tidak hanya ditentukan oleh mesinnya, tetapi juga oleh karakteristik fisik pupuk itu sendiri. Penelitian agronomis menunjukkan bahwa ukuran butiran pupuk berpengaruh nyata terhadap laju pelepasan dan efisiensi serapan hara oleh tanaman.18

Pupuk dengan butiran yang lebih halus (misalnya, ukuran 1 mm) cenderung lebih reaktif dan lebih cepat larut, sehingga hara lebih cepat tersedia bagi tanaman.18 Sebaliknya, pupuk yang diformulasikan dalam bentuk yang lebih besar seperti briket menunjukkan sifat pelepasan lambat (

slow release), yang dapat mengurangi kehilangan hara akibat pencucian dan meningkatkan efisiensi serapan dalam jangka panjang.19

Implikasinya adalah, untuk mencapai pemupukan yang efektif dan merata dengan drone, diperlukan pupuk granul yang dirancang khusus untuk aplikasi udara. Pupuk tersebut harus memiliki ukuran dan kepadatan butiran yang seragam untuk mencegah segregasi (pemisahan) partikel selama penerbangan dan memastikan pola sebaran yang konsisten di seluruh lahan. Ini merupakan tantangan teknis sekaligus peluang inovasi bagi industri pupuk di Indonesia untuk mengembangkan produk yang “drone-ready”, sebuah konsep yang sudah mulai diadaptasi dari negara lain seperti Thailand.21

1.3. Penanaman Benih Padi (Direct Seeding)

Aplikasi drone untuk penanaman benih padi secara langsung (direct seeding) merupakan salah satu inovasi paling disruptif, yang berpotensi mengubah praktik budidaya padi secara fundamental. Metode ini dibandingkan dengan dua cara tanam manual utama: Tanam Pindah (Tapin), yaitu memindahkan bibit dari persemaian, dan Tebar Benih Langsung (Tabela) manual.

Efisiensi Waktu dan Biaya

Kecepatan tanam menggunakan drone sangat luar biasa. Uji coba yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian (Kementan) di Banyuasin, Sumatera Selatan, menunjukkan kapasitas drone penebar benih mencapai 1 hektar per jam.22 Sumber lain bahkan mengklaim bahwa metode ini

sepuluh kali lebih cepat dibandingkan penanaman manual oleh manusia.17

Penanaman manual, terutama Tanam Pindah, adalah salah satu kegiatan yang paling padat karya dan mahal dalam siklus produksi padi. Analisis usahatani menunjukkan total biaya produksi per hektar dengan sistem Tapin dapat mencapai rata-rata Rp 14.9 juta.24 Komponen biaya tenaga kerja untuk penanaman saja (dengan sistem borongan/kontrak) bisa mencapai

Rp 1.000.000 hingga Rp 3.000.000 per hektar.26

Drone seeding menawarkan potensi penghematan biaya yang masif. Diperkirakan penggunaan drone dapat mengurangi biaya tanam hingga setengahnya dibandingkan metode manual.23 Penghematan ini tidak hanya berasal dari eliminasi upah tenaga kerja tanam, tetapi juga dari penghapusan seluruh biaya yang terkait dengan tahap persemaian (pembuatan bedengan, penyemaian, perawatan bibit, dan pencabutan bibit).

Efisiensi Material (Benih)

Drone memungkinkan kontrol yang presisi terhadap kepadatan dan distribusi benih. Dalam uji coba Kementan, drone dikalibrasi untuk menyebar 50 hingga 60 kg benih per hektar.22 Sistem drone lain dirancang untuk menyebar dengan kepadatan sekitar 144 butir/m², menggunakan sekitar 12 kg benih untuk sekali terbang dengan hopper berkapasitas 15 kg.17

Kebutuhan benih ini lebih efisien atau setidaknya sebanding dengan metode Tabela manual yang membutuhkan 62 hingga 72 kg benih per hektar.26 Dengan demikian, drone tidak hanya menghemat waktu dan biaya tenaga kerja, tetapi juga mengoptimalkan penggunaan benih.

Tantangan Teknis dan Persiapan Lahan

Keberhasilan penanaman dengan drone sangat bergantung pada kondisi lahan yang spesifik. Lahan harus dalam kondisi “macak-macak” atau lembab, tetapi tidak boleh tergenang air. Penggenangan akan menyebabkan benih yang disebar dari udara mengumpul di bagian lahan yang lebih rendah, mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang tidak merata dan sangat renggang di bagian yang lebih tinggi.17

Ini merupakan pergeseran paradigma yang signifikan bagi petani yang terbiasa dengan sistem Tanam Pindah, di mana bibit justru ditanam pada lahan yang sudah digenangi. Oleh karena itu, adopsi drone seeding harus diiringi dengan edukasi dan perubahan dalam praktik manajemen air dan persiapan lahan.


Tabel Kunci dan Analisis Komparatif

Untuk menyintesis data kuantitatif yang telah dipaparkan, tabel berikut menyajikan perbandingan langsung antara metode drone dan manual di berbagai metrik utama.

Tabel 1.1: Matriks Perbandingan Kinerja Drone vs. Manual per Hektar di Pertanian Padi Indonesia

AplikasiMetodeWaktu (Jam/Ha)Biaya Tenaga/Sewa (Rp/Ha)Kebutuhan Material (Liter atau Kg/Ha)Estimasi Efisiensi/Penghematan
Penyemprotan CairDrone0.17 – 0.29100.000 – 250.00015 – 80 LiterWaktu: >90% hemat; Biaya: 50-70% hemat
Manual11.5 – 12.0250.000 – 355.000100 – 300 Liter
Pemupukan GranulDrone0.8 – 1.0~600.000 (bagian dari total)Tergantung dosisWaktu: Sangat Cepat; Biaya: ~30% hemat
ManualBeberapa Hari~2.000.000Tergantung dosis
Tanam Benih PadiDrone1.0~50% lebih murah dari manual50 – 60 KgWaktu: 10x lebih cepat; Biaya: ~50% hemat
ManualBeberapa Hari1.000.000 – 3.000.00062 – 72 Kg

Sumber: Dirangkum dari.1

Untuk memberikan konteks yang lebih dalam terhadap klaim penghematan biaya, penting untuk memahami struktur biaya total dalam usahatani padi manual.

Tabel 1.2: Analisis Biaya Referensi (Baseline) untuk Usahatani Padi Manual per Hektar per Musim Tanam

Komponen BiayaRata-rata Biaya (Rp/Ha)Keterangan
Biaya Variabel
Benih392.210 – 750.000Biaya bervariasi tergantung jenis benih (subsidi/non-subsidi)
Pupuk1.186.915 – 1.500.000Kombinasi pupuk subsidi dan non-subsidi
Pestisida1.186.915Termasuk insektisida, fungisida, dan herbisida
Upah Tenaga Kerja3.408.949 – 4.500.000Mencakup pengolahan tanah, tanam, pemupukan, semprot, panen
* – Upah Tanam Manual1.000.000 – 3.000.000Komponen terbesar dari upah tenaga kerja
* – Upah Semprot Manual270.301 – 355.177Aktivitas berulang selama musim tanam
Biaya Tetap
Sewa Lahan & Pajak4.809.825Bervariasi signifikan antar wilayah
Penyusutan Alat113.862Untuk alat-alat kecil yang dimiliki petani
Total Biaya Produksi~11.000.000 – 22.518.314Rentang yang luas menunjukkan variasi praktik dan lokasi

Sumber: Dirangkum dari.10

Dari tabel-tabel di atas, menjadi jelas bahwa adopsi drone secara langsung menargetkan komponen biaya variabel yang paling signifikan, yaitu upah tenaga kerja untuk tanam, pemupukan, dan penyemprotan. Penghematan yang ditawarkan oleh drone, baik dari segi biaya maupun waktu, bukanlah perbaikan kecil, melainkan sebuah perubahan fundamental dalam ekonomi usahatani padi.


Analisis kuantitatif ini membawa pada beberapa pemahaman yang lebih dalam. Pertama, efisiensi drone bukan hanya soal penghematan biaya, tetapi juga peningkatan resiliensi. Kemampuan untuk merespons ancaman agronomis seperti serangan hama dalam hitungan jam, bukan hari, secara fundamental mengubah manajemen risiko di tingkat lahan. Metode manual yang lambat seringkali membuat petani kalah cepat dari penyebaran penyakit. Dengan demikian, drone beralih fungsi dari sekadar alat efisiensi operasional menjadi instrumen strategis untuk menjaga hasil panen dan memperkuat ketahanan pangan.

Kedua, adopsi drone mendorong pergeseran paradigma dalam pengelolaan input pertanian. Data menunjukkan drone menggunakan lebih sedikit pupuk dan pestisida karena teknologi aplikasi yang superior. Hal ini secara tidak langsung memaksa seluruh ekosistem, dari petani hingga produsen, untuk beralih dari pola pikir “lebih banyak lebih baik” ke “lebih presisi lebih baik”. Fokus bergeser pada pemberian input yang tepat, di tempat yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Ini juga membuka peluang inovasi bagi industri pupuk dan pestisida untuk menciptakan produk yang dioptimalkan untuk aplikasi udara, yang pada akhirnya mendorong praktik pertanian yang lebih berkelanjutan.

Ketiga, drone mentransformasi struktur tenaga kerja pedesaan, bukan menghilangkannya. Di tengah fenomena penuaan petani dan kelangkaan tenaga kerja di sektor pertanian 30, drone hadir untuk mengisi kekosongan tersebut. Lebih penting lagi, teknologi ini menciptakan lapangan kerja baru yang membutuhkan keterampilan lebih tinggi: pilot drone, teknisi, analis data, dan penyedia jasa DaaS. Kisah sukses dari berbagai kelompok tani menunjukkan bahwa teknologi ini membuat pertanian terlihat lebih modern dan menarik bagi generasi muda 32, menawarkan jalur untuk revitalisasi ekonomi pedesaan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia, bukan sekadar pengurangan jumlahnya.

2. Lanskap Global: Pelajaran dari Para Pelopor Drone Pertanian di Asia

Untuk merumuskan strategi implementasi yang efektif di Indonesia, penting untuk melakukan pembandingan (benchmarking) dengan negara-negara lain di Asia yang telah lebih dulu dan lebih masif mengadopsi teknologi drone pertanian. Analisis terhadap pendekatan yang diambil oleh India, Vietnam, Thailand, dan Cina mengungkapkan berbagai model kebijakan, strategi implementasi, dan hasil yang dapat menjadi pelajaran berharga.

2.1. India: Kekuatan Kebijakan dan Subsidi Skala Besar

India merupakan contoh utama bagaimana intervensi kebijakan pemerintah yang kuat dan agresif dapat mengakselerasi adopsi teknologi dalam skala masif. Pemerintah India tidak hanya mendorong, tetapi secara aktif mendanai transisi menuju pertanian berbasis drone.

Drone yang beroperasi di India saat ini tampaknya merujuk pada proyeksi pertumbuhan pasar dan target ambisius pemerintah, bukan jumlah pasti yang sudah aktif. Data pasar yang lebih terukur memproyeksikan pertumbuhan volume drone (semua jenis) di India dari 10.803 unit pada 2024 menjadi 61.393 unit pada 2029.34 Namun, yang terpenting adalah kebijakan yang mendorong pertumbuhan ini.

Kebijakan Pendorong Utama:

  • “Kisan Drone” Scheme: Diluncurkan pada Februari 2022, skema ini adalah tulang punggung strategi drone India. Ini bukan sekadar slogan, melainkan sebuah program terstruktur dengan alokasi dana konkret—sebesar ₹129.19 crore (sekitar Rp 245 miliar) telah disalurkan per Maret 2023—untuk mempromosikan penggunaan drone dalam berbagai aplikasi pertanian.15
  • “Namo Drone Didi” Scheme: Ini adalah inovasi kebijakan yang cemerlang, menargetkan pemberdayaan perempuan pedesaan. Dengan alokasi dana ₹1.261 crore (sekitar Rp 2.4 triliun) untuk periode 2024-2026, skema ini bertujuan untuk menyediakan drone kepada 15.000 Kelompok Swadaya Masyarakat (SHG) perempuan.36 Langkah ini secara cerdas mengatasi dua tantangan sekaligus: percepatan adopsi teknologi dan peningkatan inklusi ekonomi di tingkat akar rumput.

Struktur Subsidi yang Agresif:

Struktur subsidi di India dirancang secara berjenjang untuk mendorong adopsi di semua level:

  • Institusi Riset dan Pendidikan (ICAR, KVKs): Diberikan subsidi 100% dari biaya drone (hingga maksimal ₹10 lakh atau sekitar Rp 190 juta) untuk tujuan demonstrasi dan penyuluhan.15
  • Kelompok Tani dan Penyedia Jasa (FPOs, CHCs): Menerima subsidi 40% hingga 75% dari biaya drone (hingga maksimal ₹4 lakh – ₹7.5 lakh).15
  • Petani Individu: Mendapatkan subsidi 40% hingga 50% (hingga maksimal ₹4 lakh – ₹5 lakh), dengan persentase yang lebih tinggi diberikan kepada perempuan, petani kecil dan marginal, serta kelompok masyarakat tertentu.15
  • Wirausahawan Muda: Lulusan pertanian yang mendirikan Custom Hiring Centers (CHCs) atau pusat penyewaan alat mesin pertanian, berhak atas subsidi 50% (hingga maksimal ₹5 lakh).15

Ekosistem ini diperkuat lebih lanjut oleh skema pembiayaan seperti Agriculture Infrastructure Fund (AIF) yang menawarkan pinjaman berbunga rendah dan insentif Production-Linked Incentive (PLI) untuk mendorong manufaktur drone di dalam negeri.38

2.2. Vietnam: Strategi Nasional Menuju Pertanian 4.0

Pendekatan Vietnam bersifat lebih terintegrasi dan top-down, di mana adopsi drone menjadi bagian dari agenda nasional yang lebih besar untuk modernisasi sektor pertanian.

Kerangka Kebijakan:

Adopsi drone di Vietnam didorong oleh “National Agricultural Modernization Program”. Program ini memiliki target yang jelas: memodernisasi 70% koperasi pertanian pada tahun 2025.41 Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk melakukan transformasi struktural, bukan sekadar adopsi teknologi secara sporadis.

Pertumbuhan dan Adopsi:

Pasar drone pertanian di Vietnam diproyeksikan mengalami pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) sebesar 20-25%.42 Pada tahun 2023, dilaporkan sudah ada lebih dari

1.500 drone pertanian yang beroperasi di seluruh negeri.41

Fokus pada Hasil:

Implementasi teknologi ini telah menunjukkan hasil yang terukur dan signifikan. Laporan dari Vietnam Academy of Agricultural Sciences menyebutkan bahwa penggunaan drone telah berkontribusi pada peningkatan hasil panen sebesar 20% dan pengurangan penggunaan pestisida hingga 30%.41 Studi lain mengonfirmasi angka-angka ini, dengan laporan pengurangan input hingga 30% dan peningkatan hasil panen hingga 15%.44

Kemitraan Publik-Swasta (KPS):

Kunci sukses strategi Vietnam adalah kolaborasi yang erat antara pemerintah, perusahaan teknologi global (seperti DJI dan XAG), dan institusi pendidikan lokal (seperti Hue University of Agriculture and Forestry).44 KPS ini memastikan bahwa teknologi yang diadopsi adalah yang terdepan, sekaligus membangun kapasitas sumber daya manusia lokal melalui program pelatihan dan pengembangan bakat.

2.3. Thailand: Membangun Ekosistem Drone dari Akar Rumput

Thailand menawarkan model yang berbeda, yang lebih berfokus pada pembangunan ekosistem dari bawah ke atas (bottom-up) melalui pemberdayaan komunitas lokal.

Kebijakan Berbasis Komunitas:

Program andalan Thailand adalah “One Tambon One Digital (OTOD)”, khususnya inisiatif “Community Drone Project” yang dijalankan oleh Digital Economy Promotion Agency (Depa).47 Fokus utama program ini bukan hanya pada penyediaan alat, tetapi pada

pembangunan kapabilitas manusia dan penciptaan model bisnis lokal yang berkelanjutan.

Hasil yang Terukur:

Program OTOD telah mencapai hasil yang mengesankan:

  • Menghasilkan nilai ekonomi lebih dari 20 miliar baht (sekitar US$ 570 juta) hanya dalam tahun pertamanya.47
  • Berhasil melatih lebih dari 1.500 pilot drone pertanian dan 100 teknisi perbaikan, melampaui target awal yang ditetapkan.47
  • Mendukung dan membangun jaringan 500 komunitas pengguna drone di seluruh negeri, yang secara langsung berdampak pada peningkatan mata pencaharian sekitar 10.000 rumah tangga petani.47

Model Drone-as-a-Service (DaaS):

Pendekatan Thailand secara efektif mendorong pertumbuhan model DaaS. Dengan berfokus pada pelatihan pilot dan teknisi di tingkat komunitas, program ini memungkinkan petani untuk menyewa jasa drone dari penyedia layanan lokal tanpa harus menanggung beban biaya investasi awal yang tinggi.48 Ini adalah solusi cerdas untuk mengatasi hambatan biaya bagi petani kecil. Pasar pun merespons dengan positif; perusahaan seperti DJI melaporkan pertumbuhan penjualan hingga 50 kali lipat dan telah melatih lebih dari 10.000 operator bersertifikat di Thailand, menunjukkan ekosistem yang matang dan berkembang pesat.49

2.4. Cina: Puncak Integrasi Smart Farming

Cina berfungsi sebagai tolok ukur tertinggi atau visi jangka panjang dari transformasi pertanian digital. Di negara ini, drone bukan lagi sekadar alat, melainkan sebuah simpul yang terintegrasi penuh dalam ekosistem smart farming yang canggih.

Integrasi Komprehensif:

Pertanian di Cina telah mengadopsi tidak hanya drone, tetapi juga teknologi pendukung lainnya seperti traktor otonom, sensor IoT, kecerdasan buatan (AI) untuk analisis data, blockchain untuk keterlacakan rantai pasok, dan gudang pintar.50

Skala Adopsi dan Model Bisnis:

Skala adopsi drone di Cina sangat masif, dengan sekitar 95% digunakan untuk aplikasi penyemprotan dan 5% untuk pengumpulan data dan pemetaan.51 Cina telah menjadi eksportir utama tidak hanya perangkat keras drone, tetapi juga pengetahuan dan standar operasional aplikasi udara ke seluruh Asia.46 Model bisnis yang dominan di sana adalah platform online yang berfungsi seperti “Uber untuk drone”, di mana petani dapat dengan mudah memesan layanan drone sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka.51

Pelajaran untuk Indonesia:

Cina menunjukkan tujuan akhir dari perjalanan transformasi ini. Sementara Indonesia saat ini masih berfokus pada adopsi alat tunggal (drone), Cina mengajarkan bahwa nilai maksimal dari teknologi ini akan tercapai ketika drone menjadi bagian dari jaringan data yang lebih besar, yang mampu mengoptimalkan seluruh rantai nilai pertanian, dari persiapan lahan hingga pascapanen dan logistik.50


Tabel Kunci dan Analisis Komparatif

Untuk memvisualisasikan perbedaan strategis antar negara, matriks komparatif berikut merangkum pendekatan kebijakan mereka.

Tabel 2.1: Matriks Komparatif Kebijakan dan Strategi Adopsi Drone Pertanian di Asia

NegaraProgram UnggulanModel StrategisSkema Subsidi UtamaFokus PelatihanHasil/Target Kuantitatif
IndiaKisan Drone, Namo Drone DidiTop-Down, berbasis subsidi masif40-100% dari biaya drone untuk berbagai kelompokPelatihan pilot untuk penerima manfaat subsidi15.000 SHG perempuan, rilis dana >₹129 Cr
VietnamNational Agricultural Modernization ProgramTop-Down, terintegrasi dalam rencana nasionalSubsidi ada, namun fokus pada modernisasi koperasiKemitraan dengan universitas & swasta untuk pengembangan bakatModernisasi 70% koperasi, >1.500 drone aktif
ThailandOne Tambon One Digital (OTOD) Community Drone ProjectBottom-Up, berbasis pembangunan ekosistem komunitasFokus pada pendanaan pelatihan dan pembentukan jaringanSertifikasi pilot & teknisi untuk menciptakan penyedia jasa DaaS>1.500 pilot terlatih, 500 komunitas pengguna

Sumber: Dirangkum dari.15


Analisis komparatif ini menyoroti beberapa pelajaran strategis penting. Pertama, terdapat dua jalur utama menuju adopsi massal: subsidi modal seperti yang ditempuh India, dan pembangunan ekosistem seperti yang dilakukan Thailand. Model India mampu mendistribusikan perangkat keras dengan cepat, namun berisiko jika tidak diimbangi dengan kesiapan SDM. Model Thailand memastikan pemanfaatan teknologi yang berkelanjutan, namun mungkin lebih lambat dalam mencapai skala nasional. Strategi paling kuat bagi Indonesia adalah model hibrida yang menggabungkan kedua pendekatan tersebut.

Kedua, pemberdayaan perempuan, seperti yang dicontohkan oleh skema “Namo Drone Didi” di India, bukanlah sekadar agenda sosial, melainkan akselerator ekonomi yang cerdas. Dengan menargetkan kelompok perempuan yang seringkali memiliki struktur organisasi yang solid di tingkat desa, pemerintah dapat secara efektif menciptakan wirausahawan baru, meningkatkan pendapatan keluarga, dan mempercepat penetrasi layanan DaaS. Indonesia, dengan jaringan PKK dan Kelompok Wanita Tani (KWT) yang kuat, memiliki potensi besar untuk mereplikasi model ini.

Ketiga, dan yang paling fundamental, adalah peran regulasi yang jelas dan mendukung. Negara-negara yang berhasil seperti India, Jepang, Vietnam, dan Thailand secara proaktif menyederhanakan peraturan mereka, memandangnya sebagai kerangka kerja yang memungkinkan (enabling framework), bukan sebagai penghalang.51 Mereka menyeimbangkan aspek keselamatan dengan kebutuhan inovasi. Hal ini sangat kontras dengan situasi di Indonesia, di mana regulasi yang kompleks justru menjadi hambatan utama.54 Pelajaran yang jelas adalah bahwa pemerintah harus memimpin dengan menciptakan peraturan yang fasilitatif jika ingin membuka potensi penuh dari revolusi pertanian digital ini.

3. Menavigasi Medan Pertanian Indonesia: Tantangan, Peluang, dan Aktor Kunci

Setelah memahami efektivitas kuantitatif drone dan memetik pelajaran dari lanskap global, analisis kini kembali fokus pada konteks domestik Indonesia. Implementasi teknologi drone di tanah air dihadapkan pada serangkaian tantangan struktural yang unik, namun di saat yang sama, juga didukung oleh peluang dan inisiatif yang mulai bersemi, menandakan adanya potensi transformasi yang besar.

3.1. Hambatan Struktural: Belenggu Regulasi dan Kesenjangan Adopsi

Meskipun potensi drone sangat besar, laju adopsinya di Indonesia masih terhambat oleh beberapa faktor fundamental yang saling terkait.

Kendala Regulasi: Ini adalah tantangan yang paling sering disebut dan paling signifikan. Laporan dari Kementerian Perhubungan pada tahun 2023 mengindikasikan bahwa 60% dari aplikasi perizinan drone di sektor pertanian terkendala oleh aspek keamanan dan keselamatan.54 Proses perizinan yang dianggap kompleks, ketat, dan lambat menciptakan ketidakpastian hukum dan bisnis yang signifikan, menghalangi baik petani maupun investor untuk berkomitmen penuh pada teknologi ini.54 Regulasi yang ada saat ini tampaknya lebih bersifat reaktif terhadap risiko daripada proaktif dalam memfasilitasi inovasi.

Biaya Tinggi dan Akses Permodalan: Harga sebuah drone sprayer kelas profesional dapat mencapai puluhan juta rupiah, sebuah angka yang berada di luar jangkauan sebagian besar petani perorangan di Indonesia.57 Keterbatasan akses terhadap permodalan formal membuat investasi awal ini menjadi penghalang utama. Akibatnya, muncul permintaan yang kuat untuk model bisnis alternatif seperti penyewaan atau

Drone-as-a-Service (DaaS), di mana petani dapat mengakses teknologi tanpa harus memilikinya.31

Kesenjangan Keterampilan dan Pengetahuan: Adopsi teknologi canggih memerlukan sumber daya manusia yang terampil. Namun, sektor pertanian Indonesia masih menghadapi tantangan berupa fenomena penuaan petani dan tingkat pendidikan yang bervariasi.30 Mengoperasikan drone, merencanakan misi penerbangan, dan melakukan perawatan dasar memerlukan pelatihan khusus yang belum tersedia secara luas.59 Tanpa program pelatihan yang masif dan terstruktur, kesenjangan keterampilan ini akan terus memperlambat adopsi.

Infrastruktur Digital yang Tidak Merata: Manfaat maksimal dari drone, terutama untuk aplikasi pemetaan dan pertanian presisi, sangat bergantung pada konektivitas internet yang andal untuk mengunggah dan memproses data. Di banyak daerah pedesaan di Indonesia, infrastruktur digital seperti akses internet yang stabil dan cepat masih menjadi barang langka.61 Keterbatasan ini menghambat implementasi fungsi drone yang lebih canggih di luar sekadar penyemprotan dasar.

3.2. Peluang dan Titik Terang: Benih Transformasi yang Mulai Tumbuh

Di tengah berbagai tantangan tersebut, terdapat sejumlah perkembangan positif yang menjadi titik terang dan fondasi untuk akselerasi adopsi drone di masa depan.

Inisiatif dan Komitmen Pemerintah:

  • Program Smart Farming 4.0: Kementerian Pertanian telah menetapkan Smart Farming 4.0 sebagai program andalan untuk mendigitalisasi sektor pertanian. Program ini secara eksplisit menyebutkan pemanfaatan teknologi seperti drone sprayer dan drone surveillance (pemetaan) sebagai komponen utamanya.30 Ini menandakan adanya kemauan politik di tingkat tertinggi untuk mendorong modernisasi.
  • Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP): Langkah strategis yang paling signifikan adalah transformasi Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP) menjadi BRMP melalui Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2024.62 Dengan tugas utama “menyelenggarakan perakitan dan modernisasi pertanian,” BRMP memiliki mandat yang jelas untuk menjadi motor penggerak dalam standardisasi, pengujian, sertifikasi, dan promosi adopsi teknologi pertanian modern, termasuk drone.62

Ekosistem Inovator Lokal:

  • Industri drone dalam negeri mulai menunjukkan geliatnya. Kehadiran perusahaan manufaktur seperti Frogs Indonesia 32 dan Full Drone Solutions 16, serta distributor besar seperti Halo Robotics yang memasarkan produk global seperti DJI 64, menunjukkan bahwa fondasi ekosistem industri telah terbentuk. Mereka tidak hanya menjual produk, tetapi juga menyediakan layanan, pelatihan, dan suku cadang.
  • Upaya untuk meningkatkan kemandirian teknologi juga sedang berjalan. Kolaborasi antara industri (PT. FROGS Indonesia) dan akademisi (Universitas Negeri Yogyakarta) untuk meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) drone adalah langkah krusial.65 Peningkatan TKDN tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada impor, tetapi juga berpotensi menekan harga jual drone di pasar domestik.

Kisah Sukses di Tingkat Lapangan:

  • Bukti konsep paling kuat datang langsung dari para petani. Kisah sukses dari berbagai kelompok tani, seperti petani bawang di Nganjuk 32, petani padi di Kediri 33, dan petani kopi di Banyuwangi 66, menunjukkan antusiasme yang tinggi dan manfaat nyata yang dirasakan ketika teknologi drone diperkenalkan dengan pendampingan yang tepat. Mereka melaporkan peningkatan efisiensi, efektivitas pengendalian hama, dan pengurangan beban kerja fisik.
  • Keberhasilan-keberhasilan ini, meskipun masih berskala kecil, berfungsi sebagai model percontohan yang sangat berharga dan dapat direplikasi di wilayah lain, membuktikan bahwa teknologi ini relevan dan dapat diterima oleh petani Indonesia.

Analisis terhadap medan pertanian Indonesia ini mengungkapkan adanya sebuah “paradoks adopsi”. Di satu sisi, terdapat dorongan kebijakan yang kuat dari Kementerian Pertanian dan tarikan permintaan yang jelas dari petani di lapangan yang telah melihat manfaatnya. Teknologi ini terbukti efektif dan sangat diinginkan. Namun di sisi lain, jalur untuk adopsi massal terhalang oleh hambatan birokrasi yang kaku dari regulator lain (seperti Kementerian Perhubungan) dan tantangan finansial yang nyata bagi petani. Kemacetan ini menunjukkan adanya ketidaksinkronan kebijakan antar lembaga pemerintah. Upaya modernisasi yang dipimpin oleh Kementan akan terus berjalan lambat jika tidak ada penyelarasan tujuan dan penciptaan jalur regulasi yang fasilitatif bersama kementerian terkait.

Lebih jauh, kondisi di lapangan menegaskan bahwa model bisnis Drone-as-a-Service (DaaS) bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk konteks Indonesia. Mengingat tingginya biaya kepemilikan individu 57, model sewa jasa menjadi solusi yang paling logis dan diminati oleh petani, seperti yang terlihat dalam kasus di Tulungagung dan Jombang.4 Model DaaS secara efektif mengatasi tiga hambatan utama sekaligus: biaya modal yang tinggi, kebutuhan akan keterampilan operasional khusus, dan beban pemeliharaan perangkat. Munculnya penyedia jasa lokal menunjukkan bahwa model ini layak secara komersial.16 Oleh karena itu, arah kebijakan pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada subsidi pembelian alat, yang berisiko hanya menguntungkan petani skala besar atau korporasi, tetapi harus secara aktif mendorong dan memberikan insentif bagi tumbuhnya wirausahawan penyedia DaaS di tingkat desa dan kecamatan, sejalan dengan pelajaran sukses dari Thailand.

4. Rekomendasi Strategis: Akselerasi Adopsi Drone untuk Ketahanan Pangan Indonesia

Berdasarkan analisis komprehensif terhadap efektivitas kuantitatif, pelajaran dari lanskap global, serta pemahaman mendalam tentang tantangan dan peluang di Indonesia, laporan ini merumuskan serangkaian rekomendasi strategis yang konkret dan dapat ditindaklanjuti. Tujuan utamanya adalah untuk membuka sumbatan yang menghambat adopsi, mengakselerasi implementasi teknologi drone secara nasional, dan pada akhirnya memanfaatkan potensi penuhnya untuk meningkatkan produktivitas dan ketahanan pangan Indonesia.

4.1. Reformasi Regulasi: Menuju Kerangka Kerja yang Memfasilitasi dan Berbasis Risiko

Hambatan regulasi adalah sumbatan terbesar yang harus segera diatasi. Pendekatan saat ini yang kaku dan tersentralisasi perlu diubah menjadi kerangka kerja yang lebih fleksibel, fasilitatif, dan berbasis risiko.

  • Membentuk Gugus Tugas Lintas Kementerian: Langkah pertama yang paling krusial adalah membentuk gugus tugas khusus yang terdiri dari perwakilan tingkat tinggi dari Kementerian Pertanian (termasuk BRMP), Kementerian Perhubungan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan pemangku kepentingan industri. Tugas utama gugus tugas ini adalah merancang ulang Peraturan Menteri Perhubungan yang ada, dengan tujuan spesifik untuk menciptakan jalur yang jelas dan mudah bagi operasi drone pertanian.
  • Menerapkan Sistem Perizinan Berjenjang (Tiered System): Mengganti sistem perizinan “satu ukuran untuk semua” dengan model berjenjang yang didasarkan pada tingkat risiko:
    • Tingkat 1 (Risiko Rendah): Untuk operasi drone di bawah berat tertentu (misalnya, 25 kg) yang terbang di atas lahan pertanian pribadi atau milik kelompok tani, jauh dari kawasan udara terlarang (bandara, instalasi militer) dan area padat penduduk. Proses pendaftaran drone dan sertifikasi pilot untuk kategori ini harus disederhanakan secara radikal, dapat dilakukan sepenuhnya secara online melalui platform yang dikelola Kementan/BRMP, dengan biaya minimal atau gratis.
    • Tingkat 2 (Risiko Sedang): Untuk operasi yang lebih luas atau di dekat batas area pemukiman. Kategori ini mungkin memerlukan sertifikasi pilot yang lebih ketat dan notifikasi rencana penerbangan otomatis melalui aplikasi.
    • Tingkat 3 (Risiko Tinggi): Untuk operasi di dekat infrastruktur kritis, yang sangat jarang terjadi dalam konteks pertanian. Kategori ini tetap memerlukan izin khusus dengan evaluasi kasus per kasus.
  • Mendelegasikan Wewenang Sertifikasi: Untuk menghindari penumpukan birokrasi di Jakarta, pemerintah harus mendelegasikan wewenang untuk menyelenggarakan pelatihan dan menerbitkan sertifikat pilot drone Tingkat 1 kepada institusi di daerah. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di tingkat kecamatan, Balai Pelatihan Pertanian (BPP), atau institusi yang ditunjuk oleh BRMP dapat diberdayakan sebagai pusat sertifikasi lokal.

4.2. Model Kebijakan Hibrida “Kisan-Tambon” untuk Indonesia

Indonesia tidak perlu memilih antara model subsidi masif India atau model pembangunan ekosistem Thailand. Strategi terbaik adalah mengadopsi model hibrida yang menggabungkan kekuatan keduanya.

  • Mengadopsi Subsidi Bertarget ala India:
    • Menyalurkan subsidi pembelian drone (misalnya, 40-75%) bukan kepada petani perorangan, melainkan secara eksklusif kepada badan usaha kolektif seperti Kelompok Tani (Poktan), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), dan Koperasi Unit Desa (KUD). Kebijakan ini akan mendorong kepemilikan aset secara kolektif, yang menjadi fondasi alami untuk pengembangan layanan DaaS bagi anggota dan masyarakat sekitar.
    • Mereplikasi skema “Namo Drone Didi” dengan meluncurkan program “Srikandi Tani Digital” atau sejenisnya, yang menargetkan Kelompok Wanita Tani (KWT) atau kelompok PKK di pedesaan. Mereka dapat diberikan paket bantuan yang mencakup subsidi lebih tinggi (misalnya, 80%) untuk pembelian drone dan pelatihan intensif untuk menjadi pilot dan wirausahawan penyedia jasa drone di komunitas mereka.
  • Membangun Ekosistem Pelatihan ala Thailand:
    • Mengalokasikan sebagian Dana Desa atau dana khusus dari APBN/APBD untuk membiayai program pelatihan dan sertifikasi pilot drone di tingkat kecamatan. Program ini harus dijalankan bekerja sama dengan BPP, produsen drone lokal, dan penyedia jasa pelatihan yang sudah ada.
    • Mengubah metrik keberhasilan program dari sekadar “jumlah drone yang dibagikan” menjadi “jumlah pilot dan teknisi bersertifikat yang diciptakan”. Target seperti “Menciptakan 1.000 Pilot Drone Pertanian di Setiap Provinsi” akan lebih berdampak dalam jangka panjang daripada sekadar membagikan alat.

4.3. Menjembatani Kesenjangan dengan Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPS)

Pemerintah tidak dapat melakukan transformasi ini sendirian. Kolaborasi aktif dengan sektor swasta sangat penting untuk menjembatani kesenjangan finansial dan teknologi.

  • Skema Pembiayaan Inovatif: Mendorong bank BUMN (seperti BRI dan Mandiri) dan lembaga pembiayaan seperti LPDB untuk menciptakan produk Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus untuk wirausahawan DaaS. Pinjaman ini dapat digunakan untuk pembelian drone, baterai cadangan, dan modal kerja awal, dengan skema agunan yang diringankan atau dijamin oleh lembaga penjaminan kredit pemerintah.
  • Platform Digital Nasional: Pemerintah, melalui BRMP atau Kementerian Kominfo, dapat berkolaborasi dengan startup teknologi untuk mengembangkan sebuah platform digital nasional. Platform ini berfungsi sebagai pasar online yang menghubungkan petani yang membutuhkan layanan drone dengan penyedia jasa DaaS bersertifikat di wilayah mereka. Ini akan menciptakan pasar yang transparan, efisien, dan terpercaya, mirip dengan model yang berhasil di Cina.
  • Mendorong Inovasi Input Pertanian: BRMP harus secara proaktif memfasilitasi kemitraan R&D antara produsen drone, universitas, dan perusahaan pupuk/pestisida besar (seperti Pupuk Indonesia Holding Company). Tujuannya adalah untuk meneliti dan mengembangkan formulasi produk input (pupuk granul, pestisida cair) yang secara spesifik dioptimalkan untuk aplikasi menggunakan drone, sehingga meningkatkan efektivitas dan efisiensi secara keseluruhan.

4.4. Membangun Ekosistem Domestik yang Berdaulat

Untuk keberlanjutan jangka panjang dan mengurangi ketergantungan pada impor, Indonesia harus membangun ekosistem drone domestik yang kuat dan berdaulat.

  • Insentif untuk Peningkatan TKDN: Pemerintah harus memberikan insentif yang jelas, seperti keringanan pajak atau prioritas dalam program pengadaan pemerintah (misalnya, untuk program subsidi Poktan), bagi produsen drone yang berhasil mencapai tingkat TKDN tertentu. Ini akan mendorong investasi dalam manufaktur lokal dan memperkuat perusahaan seperti Frogs Indonesia dan inovator lainnya.63
  • Pusat Riset dan Pengembangan (R&D) Unggulan: Mendanai pembentukan Pusat Unggulan Iptek (PUI) Drone Pertanian yang merupakan kolaborasi antara universitas terkemuka (seperti IPB, ITB, UGM, UNY), BRMP, dan industri swasta. Pusat ini harus fokus pada riset terapan untuk mengembangkan teknologi drone yang disesuaikan dengan kondisi agronomis dan geografis unik Indonesia, seperti drone untuk lahan terasering, sensor multispektral untuk mendeteksi penyakit pada tanaman tropis, dan sistem navigasi yang andal di area dengan sinyal GPS lemah.
  • Standardisasi Nasional: BRMP harus segera mengambil peran kepemimpinan dalam menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk drone pertanian. Standar ini harus mencakup aspek krusial seperti keselamatan operasional, kinerja minimum (kapasitas angkut, waktu terbang), dan yang terpenting, interoperabilitas komponen kunci seperti baterai dan sistem pengisian daya. Standardisasi baterai akan secara signifikan mengurangi biaya operasional dan memudahkan pemeliharaan bagi penyedia jasa DaaS, menciptakan ekosistem perangkat keras yang lebih sehat dan kompetitif.
Previous Post

Teknologi Tepat Guna Pemanenan dan Pemurnian Air Hujan Menjadi Air Siap Pakai untuk Masyarakat Pedesaan di Kawasan Kering Kabupaten Tuban: Sebuah Kajian Komprehensif

Next Post

Akuaponik: Terobosan untuk Ketahanan Pangan Berkelanjutan di Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Shopping cart
Sign in

No account yet?

Create an Account