Bagian I: Pendahuluan
1.1. Latar Belakang: Krisis Air di Kabupaten Tuban dan Urgensi Pemanfaatan Air Hujan
Kabupaten Tuban, yang terletak di pesisir utara Jawa Timur, secara umum dikenal sebagai wilayah dengan karakteristik lahan yang cenderung kering. Kondisi ini diperparah dengan adanya laporan mengenai pemetaan wilayah kekeringan yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Tuban, yang bahkan melakukan distribusi air bersih ke beberapa wilayah terdampak. Fenomena kekeringan ini bukan hanya masalah lokal, tetapi juga bagian dari isu yang lebih luas di Pulau Jawa, di mana kekeringan berdampak signifikan tidak hanya pada kebutuhan air masyarakat tetapi juga pada sektor pertanian. Dalam konteks keterbatasan sumber air permukaan dan air tanah yang berkelanjutan di banyak kecamatan di Tuban, air hujan muncul sebagai satu-satunya sumber daya air alternatif yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan secara masif dan massal oleh masyarakat.
Ketergantungan pada air hujan sebagai sumber utama di daerah kering seperti Tuban secara inheren meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap fluktuasi iklim dan musim. Apabila curah hujan menjadi satu-satunya andalan, maka setiap tetes air yang jatuh dari langit menjadi sangat berharga. Oleh karena itu, pengembangan sistem pemanenan air hujan (SPAH) harus dirancang dengan tingkat efisiensi yang sangat tinggi. Hal ini mencakup kemampuan maksimal dalam menangkap air hujan, menyimpannya dengan aman untuk periode tanpa hujan, memurnikannya dengan efektif, serta yang tidak kalah penting, meminimalkan segala bentuk kehilangan air, baik melalui penguapan, kebocoran, maupun pemborosan akibat desain sistem yang kurang optimal. Keberhasilan implementasi teknologi SPAH yang efisien di Tuban tidak hanya akan menjawab kebutuhan lokal, tetapi juga berpotensi menjadi model percontohan yang dapat direplikasi di daerah-daerah kering lainnya di Indonesia yang menghadapi tantangan serupa dalam pemenuhan kebutuhan air bersih.
1.2. Permasalahan Utama: Kualitas Air Hujan Awal dan Kebutuhan Teknologi Tepat Guna
Sebagaimana telah diidentifikasi, air hujan yang langsung ditampung dari atap atau area terbuka lainnya seringkali tidak memenuhi standar kebersihan untuk dapat langsung digunakan. Air hujan ini umumnya terkontaminasi oleh berbagai polutan yang ada di atmosfer, seperti debu, partikel halus dari emisi industri dan kendaraan bermotor, serta kontaminan yang mungkin berasal dari permukaan area tangkapan itu sendiri, misalnya kotoran burung atau material atap yang terdegradasi.
Kondisi kualitas udara di Kabupaten Tuban menjadi faktor signifikan yang memperburuk kualitas air hujan. Data menunjukkan bahwa Indeks Kualitas Udara (AQI) di Tuban pernah mencapai angka 117, yang dikategorikan sebagai “Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif”. Lebih lanjut, analisis polutan udara di Tuban mengidentifikasi keberadaan partikulat seperti PM_{10} dan PM_{2.5}, serta gas-gas seperti Nitrogen Dioksida (NO_2), Sulfur Dioksida (SO_2), Karbon Monoksida (CO), dan Ozon (O_3). Keberadaan “Udara Kabur” yang dilaporkan dalam prakiraan cuaca juga mengindikasikan tingginya konsentrasi partikulat di atmosfer. Partikel-partikel ini, terutama PM_{2.5} yang berukuran sangat halus, dapat dengan mudah terbawa oleh air hujan. Sementara itu, gas-gas seperti NO_2 dan SO_2 dapat larut dalam air hujan dan membentuk senyawa asam (hujan asam), yang tidak hanya berbahaya bagi kesehatan tetapi juga dapat bersifat korosif terhadap material bangunan.
Dengan demikian, tantangan utama bukan hanya bagaimana memanen air hujan sebanyak mungkin, tetapi juga bagaimana memurnikannya secara efektif agar aman digunakan. Di sinilah letak urgensi pengembangan teknologi tepat guna. Teknologi yang dibutuhkan harus mampu mengatasi jenis kontaminan spesifik yang ada di Tuban, namun tetap memenuhi kriteria “tepat guna” bagi masyarakat pedesaan: memiliki biaya investasi awal yang rendah, mudah untuk dibangun dan dioperasikan oleh masyarakat dengan pengetahuan teknis terbatas, mudah dalam perawatan, serta sebisa mungkin memanfaatkan sumber daya dan material lokal yang tersedia, murah, dan mudah diakses. Teknologi yang dikembangkan juga diharapkan memiliki ketahanan terhadap fluktuasi kualitas udara yang mungkin terjadi seiring perubahan musim atau aktivitas industri dan lingkungan di sekitar wilayah Tuban.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menyusun sebuah panduan teknis yang komprehensif dan sangat detail bagi masyarakat pedesaan di Kabupaten Tuban. Panduan ini akan mencakup seluruh aspek mulai dari perencanaan, perancangan, konstruksi, operasional, hingga pemeliharaan sistem pemanenan dan pemurnian air hujan (SPAH) skala rumah tangga atau komunitas kecil. Output yang diharapkan dari sistem ini adalah air yang siap pakai, minimal untuk memenuhi kebutuhan higiene sanitasi sehari-hari (mandi, cuci, kakus), dengan potensi untuk ditingkatkan kualitasnya menjadi air minum melalui tahap pengolahan tambahan yang sederhana.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian dan implementasi teknologi yang diusulkan ini meliputi:
* Meningkatkan aksesibilitas masyarakat pedesaan di Kabupaten Tuban terhadap sumber air bersih alternatif yang berkelanjutan, terutama di daerah-daerah yang sering mengalami kesulitan air.
* Mengurangi beban, baik waktu, tenaga, maupun biaya, yang selama ini ditanggung masyarakat dalam upaya mencari dan mendapatkan air bersih, khususnya selama periode musim kemarau yang panjang.
* Meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat melalui penyediaan air dengan kualitas yang lebih baik dan terjamin, sehingga dapat mengurangi risiko penyakit yang ditularkan melalui air (waterborne diseases).
* Memberdayakan masyarakat dengan pengetahuan dan keterampilan untuk membangun dan mengelola sistem penyediaan air mereka sendiri secara mandiri, sehingga menumbuhkan rasa kepemilikan dan memastikan keberlanjutan sistem dalam jangka panjang.
* Menyediakan landasan ilmiah yang kuat dan panduan praktis yang aplikatif bagi pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), atau pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam merencanakan dan melaksanakan program intervensi penyediaan air bersih di wilayah Tuban dan sekitarnya.
1.4. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Penelitian ini akan difokuskan pada pengembangan sistem pemanenan dan pemurnian air hujan (SPAH) yang dirancang untuk skala aplikasi individual (rumah tangga) atau komunal skala kecil (misalnya, untuk beberapa rumah atau fasilitas umum seperti mushola atau balai dusun). Prioritas utama dalam pemilihan teknologi dan material adalah pemanfaatan sumber daya lokal yang tersedia di Kabupaten Tuban dan sekitarnya, serta teknologi yang memiliki biaya investasi dan operasional yang rendah.
Target kualitas air yang dihasilkan dari sistem ini akan mengacu pada standar baku mutu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Air Untuk Keperluan Higiene Sanitasi. Meskipun demikian, penelitian ini juga akan membahas upaya-upaya dan metode tambahan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas air hasil olahan hingga mendekati atau memenuhi standar kualitas air minum.
Batasan penelitian ini adalah tidak akan mencakup analisis hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) secara mendalam, perancangan sistem jaringan distribusi air dalam skala besar atau perkotaan, maupun aspek kelembagaan pengelolaan sumber daya air tingkat kabupaten secara menyeluruh. Fokus utama tetap pada solusi teknologi tepat guna di tingkat pengguna akhir di wilayah pedesaan.
Bagian II: Analisis Kontekstual Wilayah Kabupaten Tuban
2.1. Karakteristik Iklim dan Potensi Curah Hujan
Analisis data prakiraan cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk Kabupaten Tuban menunjukkan variasi kondisi cuaca, dengan dominasi kondisi berawan dan suhu yang berkisar antara 22°C hingga 31°C. Meskipun data tersebut tidak secara spesifik memberikan angka curah hujan harian atau bulanan secara kuantitatif, penyebutan “Hujan Ringan” di beberapa kecamatan seperti Bangilan, Bancar, Senori, Tambakboyo, Singgahan, Kerek, dan Montong mengindikasikan adanya potensi presipitasi yang dapat dipanen. Variabilitas spasial ini menyiratkan bahwa potensi pemanenan air hujan mungkin tidak seragam di seluruh wilayah Kabupaten Tuban; beberapa daerah mungkin memiliki frekuensi atau intensitas hujan ringan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam perencanaan skala dan ekspektasi hasil panen air di lokasi spesifik.
Lebih lanjut, data prakiraan sifat hujan dan curah hujan jangka panjang dari BMKG Stasiun Klimatologi Jawa Timur untuk periode Musim Kemarau 2025 memprediksikan bahwa sifat hujan akan “NORMAL” untuk sebagian besar Zona Musim (ZOM) di Jawa Timur, termasuk Tuban. Curah hujan selama musim kemarau tersebut diprediksi berkisar antara 100 mm hingga lebih dari 500 mm. Meskipun dikategorikan “NORMAL”, rentang curah hujan 100-500 mm selama satu musim kemarau (biasanya berlangsung 3-5 bulan) menunjukkan adanya periode dengan defisit air yang signifikan. Angka ini, jika dibagi rata per bulan, mengindikasikan pasokan air hujan yang terbatas selama musim kemarau. Kondisi ini secara langsung menekankan krusialnya perancangan sistem SPAH dengan kapasitas penyimpanan yang memadai untuk menampung surplus air selama musim hujan dan mencukupi kebutuhan selama periode kering. Selain itu, efisiensi penggunaan air yang telah dipanen juga menjadi faktor kunci.
2.2. Tingkat Kekeringan dan Dampaknya terhadap Akses Air Bersih
Kondisi kekeringan di Kabupaten Tuban merupakan masalah nyata yang telah mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah. BPBD Kabupaten Tuban telah melakukan pemetaan wilayah-wilayah yang terdampak kekeringan dan bahkan menjalankan program distribusi air bersih ke daerah-daerah tersebut. Langkah ini, meskipun membantu dalam situasi darurat, menunjukkan adanya kesulitan struktural dalam akses terhadap air bersih yang berkelanjutan bagi sebagian masyarakat Tuban. Program distribusi air bersih oleh BPBD bersifat reaktif dan merupakan solusi jangka pendek untuk mengatasi krisis air. Sebaliknya, implementasi Sistem Pemanenan Air Hujan (SPAH) di tingkat rumah tangga atau komunitas menawarkan sebuah pendekatan proaktif dan berpotensi berkelanjutan, yang dapat mengurangi ketergantungan masyarakat pada bantuan eksternal dan memberikan kemandirian dalam pemenuhan sebagian kebutuhan air mereka.
Dampak kekeringan tidak hanya dirasakan di Tuban tetapi juga menjadi fenomena yang lebih luas di Pulau Jawa. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa kekeringan di Pulau Jawa telah memberikan dampak signifikan tidak hanya pada kebutuhan air untuk manusia tetapi juga menyebabkan kerugian pada sektor pertanian, seperti sawah dan kebun yang mengalami gagal panen atau penurunan produktivitas. Konteks regional ini memperkuat argumen bahwa upaya mitigasi dan adaptasi terhadap kekeringan, termasuk melalui pemanfaatan air hujan, adalah sangat penting. Apabila data spesifik dari BPBD Tuban mengenai kecamatan-kecamatan atau desa-desa yang paling parah terdampak kekeringan dan paling sering menerima bantuan air bersih dapat diakses (sebagaimana diindikasikan dalam ), informasi tersebut akan sangat berharga untuk menentukan prioritas wilayah implementasi program SPAH, sehingga intervensi dapat difokuskan pada area yang paling membutuhkan.
2.3. Kualitas Udara dan Potensi Kontaminan dalam Air Hujan
Kualitas udara di suatu wilayah memiliki pengaruh langsung terhadap kualitas air hujan yang turun di wilayah tersebut. Air hujan, saat jatuh melalui atmosfer, dapat melarutkan gas-gas dan menangkap partikel-partikel yang tersuspensi di udara. Data Indeks Kualitas Udara (AQI) untuk Kabupaten Tuban pada periode tertentu (Juni 2025) menunjukkan angka 117, yang masuk dalam kategori “Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif”. Kategori ini mengindikasikan bahwa kualitas udara pada saat itu berpotensi menimbulkan risiko kesehatan bagi kelompok masyarakat yang rentan, seperti anak-anak, lansia, dan individu dengan penyakit pernapasan.
Lebih lanjut, data mengenai polutan spesifik di Kabupaten Tuban mengidentifikasi keberadaan berbagai zat pencemar, termasuk partikulat PM_{10} (partikel dengan diameter kurang dari 10 mikrometer) dan PM_{2.5} (partikel dengan diameter kurang dari 2.5 mikrometer), serta gas-gas seperti Nitrogen Dioksida (NO_2), Sulfur Dioksida (SO_2), Karbon Monoksida (CO), dan Ozon (O_3). Keberadaan “Udara Kabur” yang sesekali dilaporkan dalam prakiraan cuaca juga merupakan indikasi visual dari tingginya konsentrasi partikulat di atmosfer.
Partikel-partikel ini, terutama PM_{2.5} yang berukuran sangat halus, menjadi tantangan khusus dalam pemurnian air hujan. Ukurannya yang kecil memungkinkan partikel ini untuk lolos dari sistem filtrasi sederhana dan dapat terhirup atau tertelan, yang berpotensi menimbulkan dampak kesehatan jangka panjang. Sementara itu, gas NO_2 dan SO_2, ketika larut dalam air hujan, dapat membentuk asam nitrat (HNO_3) dan asam sulfat (H_2SO_4), yang menyebabkan fenomena hujan asam. Hujan asam tidak hanya berdampak buruk pada lingkungan dan ekosistem, tetapi juga dapat memengaruhi kualitas air yang dipanen, membuatnya bersifat korosif terhadap material sistem SPAH (seperti atap logam, talang, dan tangki penyimpanan) dan berpotensi melarutkan logam-logam berat dari material tersebut ke dalam air. Oleh karena itu, sistem pemurnian air hujan yang dirancang harus mempertimbangkan potensi kontaminan ini, tidak hanya untuk menghilangkan partikel tersuspensi tetapi juga, jika memungkinkan dan diperlukan, untuk menetralkan potensi keasaman air hujan. Monitoring kualitas air hujan secara berkala, terutama parameter pH dan Total Dissolved Solids (TDS), menjadi penting untuk memastikan keamanan air yang digunakan.
2.4. Ketersediaan dan Karakteristik Sumber Daya Material Lokal untuk Konstruksi SPAH
Salah satu prinsip utama teknologi tepat guna adalah pemanfaatan sumber daya lokal semaksimal mungkin untuk menekan biaya dan meningkatkan kemandirian masyarakat. Kabupaten Tuban diketahui memiliki potensi sumber daya alam berupa mineral bukan logam dan batuan , yang dapat menjadi modal penting dalam konstruksi Sistem Pemanenan Air Hujan (SPAH).
Secara spesifik, pasir kuarsa (SiO_2) diidentifikasi sebagai salah satu material yang melimpah di Tuban dan memiliki potensi untuk berbagai aplikasi teknologi. Pasir kuarsa merupakan material filter yang sangat baik karena sifatnya yang inert, keras, dan memiliki porositas yang dapat diatur melalui pemilihan ukuran butir. Penelitian yang dilakukan terkait pemanfaatan pasir kuarsa Tuban sebagai substitusi semen dan batu pecah untuk campuran paving menunjukkan adanya minat dan studi lokal terhadap material ini, meskipun fokusnya bukan untuk filtrasi air. Selain pasir kuarsa, penelitian tersebut juga menyebutkan penggunaan batu pecah, yang dapat diperoleh dari batugamping yang melimpah di Tuban.
Karakteristik geologi Kabupaten Tuban didominasi oleh formasi batugamping, yang merupakan bagian dari Zona Rembang. Batugamping ini, ketika dihancurkan, dapat menghasilkan batu pecah atau kerikil yang berfungsi sebagai lapisan pendukung dan drainase dalam sistem filter. Selain itu, proses pelapukan batugamping dan endapan aluvial di beberapa wilayah Tuban menghasilkan formasi tanah yang mengandung lempung, pasir, lanau, dan kerikil. Tanah lempung, jika diolah dengan benar (misalnya melalui proses pembakaran untuk menjadi gerabah atau bata), berpotensi digunakan untuk membuat komponen kedap air seperti bak penampung atau saluran air dengan biaya yang relatif rendah.
Ketersediaan material-material ini secara lokal – pasir kuarsa, batu pecah (dari batugamping), dan potensi tanah liat – merupakan aset berharga untuk pengembangan SPAH berbiaya rendah di Tuban. Pengetahuan dan keterampilan lokal dalam menambang, mengolah, atau memanfaatkan material-material ini (misalnya, penambang pasir tradisional, pengrajin batu, atau pengrajin gerabah) dapat dilibatkan dalam proses produksi komponen SPAH. Hal ini tidak hanya akan menekan biaya konstruksi tetapi juga berpotensi menciptakan peluang ekonomi baru bagi masyarakat setempat, sejalan dengan semangat pemberdayaan komunitas.
Bagian III: Prinsip Dasar dan Komponen Sistem Pemanenan Air Hujan (SPAH) yang Tepat Guna
Sistem Pemanenan Air Hujan (SPAH) yang efektif dan tepat guna terdiri dari beberapa komponen utama yang bekerja secara terintegrasi, mulai dari penangkapan air hujan hingga penyimpanannya. Pemilihan material dan desain untuk setiap komponen harus mempertimbangkan aspek biaya, ketersediaan lokal, kemudahan instalasi, dan daya tahan.
3.1. Area Tangkapan (Atap)
Area tangkapan adalah permukaan pertama yang kontak dengan air hujan dan berfungsi mengumpulkannya. Umumnya, atap bangunan (rumah, sekolah, balai desa) menjadi area tangkapan utama dalam SPAH skala rumah tangga atau komunitas. Berbagai jenis material atap dapat digunakan, seperti atap beton, lembaran seng atau Galvanized Iron (GI sheet), genteng tanah liat, genteng keramik, atau bahkan asbes (meskipun penggunaan asbes baru tidak direkomendasikan karena risiko kesehatan terkait serat asbes, atap asbes yang sudah terpasang masih banyak ditemui dan dapat dimanfaatkan dengan kehati-hatian agar tidak merusak permukaannya).
Setiap material atap memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal koefisien limpasan (jumlah air yang mengalir dibandingkan dengan yang jatuh) dan potensi kontaminasi terhadap air hujan. Atap dengan permukaan halus dan kedap air seperti seng atau genteng keramik berlapis glazur cenderung memiliki koefisien limpasan yang tinggi dan lebih mudah dibersihkan. Sebaliknya, atap seperti genteng tanah liat biasa atau atap sirap mungkin memiliki koefisien limpasan yang sedikit lebih rendah dan dapat menahan lebih banyak debu atau partikel. Untuk kondisi pedesaan di Tuban, atap seng (GI sheet) dan genteng tanah liat kemungkinan merupakan material yang paling umum dijumpai. Penting untuk mempertimbangkan interaksi material atap ini dengan kualitas air hujan, terutama jika air hujan bersifat asam akibat polusi udara. Misalnya, atap seng dapat melepaskan sejumlah kecil logam seng jika terpapar air hujan yang asam secara terus-menerus.
Terlepas dari jenis materialnya, kebersihan atap merupakan faktor krusial yang sangat mempengaruhi kualitas air hujan yang terkumpul. Atap harus dijaga kebersihannya secara rutin dari kotoran seperti daun-daun gugur, debu yang menumpuk, lumut, dan kotoran hewan (misalnya burung). Pembersihan dapat dilakukan dengan cara disapu atau disiram sebelum musim hujan tiba dan secara berkala selama musim hujan.
3.2. Sistem Penyaluran (Talang dan Pipa)
Setelah terkumpul di area tangkapan (atap), air hujan perlu disalurkan menuju sistem penyaringan dan wadah penampungan. Komponen utama dalam sistem penyaluran adalah talang dan pipa.
Material talang yang umum digunakan antara lain Polivinil Klorida (PVC), seng, atau bahkan bambu yang dibelah dua. Talang PVC relatif awet, mudah dipasang, dan memiliki permukaan yang halus sehingga aliran air lancar. Talang seng juga umum digunakan, namun perlu diperhatikan potensi korosi jika air hujan bersifat asam. Sebagai alternatif yang sangat murah dan sesuai dengan semangat teknologi tepat guna, bambu petung atau bambu dengan diameter besar yang dibelah dan ruas- ruasnya dihilangkan dapat difungsikan sebagai talang. Meskipun daya tahannya mungkin tidak selama PVC atau seng (memerlukan penggantian periodik atau perlakuan pengawetan sederhana), bambu merupakan sumber daya yang mungkin tersedia melimpah di beberapa daerah pedesaan dan biayanya sangat rendah.
Dari talang, air kemudian dialirkan melalui pipa menuju komponen selanjutnya. Pipa PVC merupakan pilihan yang paling umum dan direkomendasikan karena harganya yang relatif terjangkau , ringan, mudah disambung, awet, dan tidak bereaksi dengan air. Pemasangan talang dan pipa harus memperhatikan kemiringan yang cukup (minimal 1-2%) untuk memastikan air dapat mengalir dengan lancar dan tidak terjadi genangan yang dapat menyebabkan pengendapan kotoran atau pertumbuhan lumut. Semua sambungan pada sistem penyaluran harus dibuat serapat mungkin untuk mencegah kebocoran yang dapat mengurangi volume air yang terkumpul.
3.3. Teknologi First-Flush Diverter (Penyisih Aliran Pertama) Sederhana
Air hujan yang turun pada menit-menit awal biasanya mengandung konsentrasi kontaminan tertinggi. Kontaminan ini berasal dari debu, polutan, dan kotoran lain yang terakumulasi di atap dan di atmosfer sejak hujan terakhir. Untuk meningkatkan kualitas air yang akan disimpan dan diolah lebih lanjut, sangat penting untuk membuang aliran air hujan pertama ini. Mekanisme untuk melakukan hal ini disebut first-flush diverter atau penyisih aliran pertama.
Konsep dasar first-flush diverter adalah mengalihkan sejumlah volume air hujan awal agar tidak masuk ke dalam tangki penyimpanan utama. Desain yang sederhana dan murah dapat dibuat menggunakan pipa PVC. Salah satu desain umum melibatkan sebuah pipa vertikal (ruang penampung first-flush) yang terhubung ke pipa utama dari talang. Di dalam pipa vertikal ini ditempatkan sebuah bola ringan (misalnya bola plastik atau bola tenis). Mekanismenya adalah sebagai berikut:
* Ketika hujan mulai turun, air hujan pertama akan masuk dan mengisi pipa vertikal first-flush.
* Seiring dengan terisinya pipa vertikal, bola yang ada di dalamnya akan mulai mengapung.
* Setelah volume air first-flush yang ditentukan telah tertampung dalam pipa vertikal, bola akan naik hingga menyumbat lubang saluran masuk menuju pipa utama yang mengarah ke tangki penyimpanan.
* Air hujan berikutnya, yang sudah relatif lebih bersih, kemudian akan mengalir melalui pipa utama menuju sistem filtrasi dan tangki penyimpanan.
* Air kotor yang tertampung dalam pipa vertikal first-flush kemudian dibuang secara manual dengan membuka katup atau sumbat pembuangan di bagian bawah pipa vertikal setelah hujan selesai atau sebelum hujan berikutnya.
Volume air first-flush yang perlu dibuang bervariasi tergantung pada luas atap, tingkat kekotoran atap, dan lamanya periode kering sebelum hujan. Sebagai panduan umum, direkomendasikan untuk membuang sekitar 1 hingga 2 liter air hujan per meter persegi (m^2) luas atap. Volume ini mungkin perlu disesuaikan berdasarkan observasi kondisi lokal; misalnya, setelah periode kemarau panjang, volume first-flush yang lebih besar mungkin diperlukan. Efektivitas sistem first-flush sangat bergantung pada penentuan volume yang tepat dan kedisiplinan pengguna dalam membuang air kotor yang tertampung secara rutin. Tanpa pembuangan yang benar, kontaminan yang telah dipisahkan justru dapat kembali tercampur dengan aliran air berikutnya atau menyebabkan penyumbatan.
Berikut adalah tabel panduan sederhana untuk menentukan volume first-flush berdasarkan luas atap:
Tabel 1: Panduan Volume First-Flush berdasarkan Luas Atap
| Luas Atap (m^2) | Volume First-Flush (Liter) |
|—————-|—————————-|
| 10 | 10 – 20 |
| 20 | 20 – 40 |
| 30 | 30 – 60 |
| 40 | 40 – 80 |
| 50 | 50 – 100 |
(Catatan: Rekomendasi berdasarkan 1-2 Liter/m^2 luas atap. Volume aktual dapat disesuaikan dengan kondisi lokal dan tingkat kekotoran atap.)
3.4. Wadah Penampungan Utama
Wadah penampungan utama berfungsi untuk menyimpan air hujan yang telah melewati sistem first-flush dan (idealnya) sistem filtrasi awal. Pemilihan material dan ukuran wadah penampungan sangat bergantung pada kebutuhan air harian, pola curah hujan, ketersediaan lahan, dan anggaran. Beberapa pilihan material yang umum digunakan antara lain:
* Drum Plastik HDPE Bekas: Drum plastik High-Density Polyethylene (HDPE) bekas, terutama yang sebelumnya digunakan untuk wadah makanan (food-grade), merupakan pilihan yang sangat murah dan mudah didapatkan di banyak daerah. Kapasitasnya umumnya sekitar 200 liter per unit. Kelebihannya adalah biaya rendah, ringan, dan mudah dipindahkan. Kekurangannya adalah kapasitas per unit yang terbatas dan potensi degradasi material jika terpapar sinar ultraviolet (UV) matahari secara terus-menerus dalam jangka waktu lama (sebaiknya ditempatkan di tempat teduh atau dicat dengan warna terang untuk memantulkan panas). Untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan, beberapa drum dapat dihubungkan secara seri atau paralel, menawarkan solusi modular yang memungkinkan peningkatan kapasitas secara bertahap sesuai kemampuan. Penting untuk memastikan drum bekas yang digunakan benar-benar bersih dan bukan bekas wadah bahan kimia berbahaya.
* Tandon Air (Tangki Polietilena): Tandon air komersial yang terbuat dari polietilena (PE) dirancang khusus untuk penyimpanan air dan umumnya memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap sinar UV. Kapasitasnya bervariasi, mulai dari 250 liter hingga ribuan liter. Untuk skala rumah tangga, tandon berkapasitas 500 hingga 1000 liter mungkin sudah memadai. Kelebihannya adalah kapasitas yang lebih besar per unit dan daya tahan yang lebih baik. Kekurangannya adalah investasi awal yang relatif lebih tinggi dibandingkan drum bekas.
* Bak Semen atau Ferosemen: Bak penampungan yang dibangun secara permanen menggunakan adukan semen, pasir, dan kerikil (beton konvensional) atau menggunakan teknik ferosemen (rangka kawat anyam yang dilapisi mortar semen berkualitas tinggi) dapat menjadi pilihan untuk kapasitas penyimpanan yang besar dan daya tahan jangka panjang. Material seperti semen dan pasir tersedia secara lokal. Kelebihannya adalah dapat dibangun dengan ukuran dan bentuk yang disesuaikan dengan kondisi lahan serta memiliki kekuatan struktural yang baik. Kekurangannya adalah memerlukan keahlian konstruksi yang memadai, biaya material dan tenaga kerja yang mungkin lebih tinggi, serta potensi retak jika konstruksinya tidak dilakukan dengan benar.
Setiap wadah penampungan utama harus dilengkapi dengan penutup yang rapat untuk mencegah masuknya kontaminan (debu, kotoran, serangga), menghambat pertumbuhan alga (yang memerlukan sinar matahari), dan mencegah nyamuk bertelur di dalamnya. Wadah juga harus dilengkapi dengan lubang overflow (peluap) untuk membuang kelebihan air jika tangki sudah penuh, serta kran di bagian bawah untuk pengambilan air. Penempatan wadah penampungan sebaiknya dipertimbangkan agar berada pada elevasi yang lebih tinggi dari titik penggunaan air, sehingga memungkinkan aliran air secara gravitasi tanpa memerlukan pompa.
Bagian IV: Teknologi Pemurnian Air Hujan Berbiaya Rendah dan Tepat Guna
Air hujan yang telah melewati first-flush diverter umumnya masih mengandung partikel halus, kekeruhan, dan mikroorganisme. Oleh karena itu, diperlukan tahap pemurnian lebih lanjut agar air aman digunakan, setidaknya untuk keperluan higiene sanitasi. Berikut adalah beberapa teknologi pemurnian berbiaya rendah yang dapat diterapkan:
4.1. Filtrasi Multi-Media Sederhana (Filter Pasir Lambat atau Variasinya)
Filtrasi multi-media, sering juga disebut filter pasir lambat (jika laju filtrasi rendah dan terbentuk lapisan biologis) atau filter pasir cepat (jika laju tinggi dan pembersihan sering), adalah metode yang efektif untuk menghilangkan partikel tersuspensi, kekeruhan, dan sebagian mikroorganisme. Untuk aplikasi pedesaan dengan biaya rendah, filter gravitasi sederhana dapat dibangun menggunakan wadah seperti drum plastik bekas atau pipa PVC berdiameter besar.
Susunan material filter umumnya berlapis-lapis, dengan material berpori lebih besar di bagian bawah (dekat outlet) dan material berpori lebih halus di bagian atas (dekat inlet). Urutan umum dari bawah ke atas dalam filter gravitasi adalah sebagai berikut :
* Lapisan Drainase: Terdiri dari kerikil besar atau batu pecah (diameter 2-3 cm), berfungsi untuk mendukung lapisan di atasnya dan memastikan aliran air keluar filter lancar tanpa penyumbatan.
* Lapisan Pendukung/Transisi: Terdiri dari kerikil halus (diameter 0.5-1 cm), mencegah material filter yang lebih halus terbawa ke lapisan drainase.
* Media Adsorpsi (Arang Aktif): Arang aktif granular, yang dapat dibuat dari tempurung kelapa atau kayu keras lokal melalui proses karbonisasi dan aktivasi (pemanasan pada suhu tinggi dengan atau tanpa uap air/bahan kimia tertentu untuk memperbesar luas permukaan dan pori-pori). Arang aktif berfungsi untuk menghilangkan bau, rasa tidak sedap, warna, senyawa organik terlarut, dan sisa klorin (jika ada dari sumber lain, meskipun tidak umum pada air hujan murni) melalui proses adsorpsi. Kualitas arang dan proses aktivasinya sangat menentukan efektivitasnya.
* Media Filtrasi Utama (Pasir Halus): Lapisan pasir kuarsa halus dengan ukuran butir yang seragam (ukuran efektif biasanya antara 0.15 hingga 0.35 mm) merupakan jantung dari filter. Lapisan ini menyaring partikel-partikel halus penyebab kekeruhan. Pada filter pasir lambat, seiring waktu akan terbentuk lapisan tipis di permukaan pasir yang disebut schmutzdecke. Lapisan ini terdiri dari kumpulan mikroorganisme (bakteri, alga, protozoa) dan partikel organik yang secara biologis aktif memecah dan menghilangkan patogen serta kontaminan lainnya. Kualitas dan ukuran butir pasir sangat krusial; pasir kuarsa Tuban dapat digunakan setelah diayak untuk mendapatkan fraksi ukuran yang diinginkan.
* Lapisan Pemisah (Ijuk, opsional): Lapisan ijuk dapat diletakkan di antara lapisan pasir dan arang, atau di atas lapisan pasir teratas. Ijuk berfungsi untuk menyaring kotoran kasar, mencegah media filter yang lebih halus terbawa aliran, dan dapat menyerap sebagian endapan.
* Media Pra-Filtrasi (Pasir Kasar): Lapisan pasir kuarsa kasar (ukuran 0.5-1.0 mm) dapat ditempatkan di atas lapisan pasir halus untuk menyaring partikel yang lebih besar dan melindungi lapisan pasir halus dari penyumbatan yang terlalu cepat.
* Plat Pendistribusi Air Masuk: Di bagian paling atas filter (inlet), sebaiknya dipasang plat pendistribusi (misalnya, nampan berlubang-lubang kecil atau lapisan kerikil) untuk meratakan aliran air yang masuk dan mencegah erosi atau pengadukan media filter teratas.
Ketersediaan material lokal di Tuban seperti pasir kuarsa , batu pecah atau kerikil dari batugamping , serta potensi pembuatan arang dari limbah pertanian atau kayu lokal, dan ijuk dari pohon aren, mendukung implementasi filter jenis ini dengan biaya yang relatif rendah. Filter pasir lambat, jika dirancang dan dioperasikan dengan benar, tidak hanya efektif mengurangi kekeruhan dan partikel, tetapi juga dapat secara signifikan mengurangi kandungan bakteri dan virus, terutama melalui aktivitas biologis pada lapisan schmutzdecke. Hal ini menjadikannya sebagai tahap pra-perlakuan yang sangat baik sebelum proses disinfeksi lebih lanjut seperti SODIS, karena dapat membantu menurunkan kekeruhan air input untuk SODIS hingga di bawah ambang batas 30 NTU yang direkomendasikan.
Tabel 2: Spesifikasi Material Filter dan Susunannya (Contoh untuk Filter Gravitasi)
| Lapisan (dari Bawah ke Atas) | Material | Perkiraan Ketebalan (cm) | Fungsi Utama | Sumber Lokal Potensial (Tuban) |
|——————————|———————————————-|————————–|———————————————————————————–|—————————————————————–|
| 1. Outlet/Drainase | Kerikil besar / Batu pecah (diameter 2-3 cm) | 5 – 10 | Mencegah penyumbatan outlet, drainase lancar | Batugamping pecah |
| 2. Lapisan Pendukung | Kerikil halus (diameter 0.5-1 cm) | 5 – 10 | Transisi, mencegah pasir halus masuk ke lapisan kerikil besar | Batugamping pecah ukuran kecil, kerikil sungai |
| 3. Media Adsorpsi | Arang Aktif (granular) | 10 – 15 | Menghilangkan bau, rasa, warna, senyawa organik | Tempurung kelapa, kayu keras lokal (dibuat dan diaktivasi) |
| 4. Media Filtrasi Utama | Pasir Kuarsa Halus (ukuran efektif 0.15-0.35 mm) | 40 – 60 | Menyaring partikel halus, kekeruhan, pembentukan schmutzdecke (lapisan biologis) | Pasir kuarsa Tuban (perlu diayak) |
| 5. Lapisan Pemisah (opsional)| Ijuk | 2 – 5 | Mencegah media halus terbawa, menyaring kotoran kasar | Pohon aren |
| 6. Media Pra-Filtrasi | Pasir Kuarsa Kasar (ukuran 0.5-1.0 mm) | 10 – 15 | Menyaring partikel lebih kasar, melindungi lapisan pasir halus | Pasir kuarsa Tuban (perlu diayak) |
| 7. Plat Distribusi Inlet | Kerikil atau plat berlubang | – | Meratakan aliran air masuk, mencegah erosi media filter teratas | Batu, potongan PVC/kayu berlubang |
4.2. Koagulasi Alami Menggunakan Biji Kelor (Moringa oleifera)
Tanaman kelor (Moringa oleifera) merupakan sumber daya alam yang memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah bijinya yang dapat digunakan sebagai koagulan alami untuk menjernihkan air. Pohon kelor relatif mudah tumbuh di berbagai kondisi lahan, termasuk di daerah kering, dan dapat ditanam di pekarangan rumah oleh masyarakat. Pemanfaatan biji kelor sejalan dengan prinsip teknologi tepat guna karena murah, mudah didapat (jika ditanam sendiri), dan ramah lingkungan.
Prosedur persiapan serbuk biji kelor untuk penjernihan air cukup sederhana:
* Pilih biji kelor yang sudah tua dan kering (biasanya polongnya berwarna coklat dan mudah dibuka).
* Keluarkan biji dari polongnya dan kupas kulit ari biji (bagian putih).
* Tumbuk atau blender inti biji hingga menjadi serbuk halus. Untuk skala rumah tangga, penumbukan manual menggunakan lumpang dan alu sudah memadai.
* Ayak serbuk biji kelor untuk mendapatkan partikel yang lebih seragam. Pengeringan biji di bawah sinar matahari sebelum ditumbuk akan mempermudah proses penghalusan.
Dosis serbuk biji kelor yang dibutuhkan untuk penjernihan air bervariasi tergantung pada tingkat kekeruhan air awal. Beberapa penelitian menunjukkan dosis efektif sekitar 0.1 gram serbuk biji kelor per liter air keruh. Untuk aplikasi rumah tangga, ini setara dengan sekitar 2-3 biji kelor berukuran sedang (setelah dikupas dan ditumbuk) untuk menjernihkan sekitar 20 liter air (satu ember besar). Pengguna dapat melakukan uji coba sederhana untuk menemukan dosis optimal bagi air hujan di wilayah mereka.
Prosedur aplikasi koagulasi dengan biji kelor skala rumah tangga adalah sebagai berikut :
* Ambil sejumlah serbuk biji kelor sesuai dosis yang telah ditentukan.
* Larutkan serbuk biji kelor tersebut dalam sedikit air bersih (sekitar satu gelas), aduk hingga rata membentuk pasta atau larutan suspensi.
* Tuangkan larutan biji kelor tersebut ke dalam wadah berisi air hujan yang akan dijernihkan (misalnya, ember atau bak penampung sementara).
* Aduk air dengan cepat selama sekitar 1-2 menit. Pengadukan cepat ini bertujuan untuk menyebarkan partikel koagulan secara merata ke seluruh volume air.
* Setelah itu, lanjutkan dengan pengadukan lambat selama sekitar 5-10 menit. Pengadukan lambat ini membantu proses flokulasi, yaitu pembentukan gumpalan-gumpalan (flok) kotoran yang lebih besar dan lebih berat.
* Hentikan pengadukan dan biarkan air dalam kondisi tenang selama minimal 1-2 jam, atau lebih lama jika air sangat keruh, agar flok-flok kotoran tersebut dapat mengendap ke dasar wadah.
* Setelah proses pengendapan selesai, air jernih yang berada di bagian atas wadah dapat diambil dengan hati-hati menggunakan gayung atau selang kecil, usahakan agar endapan lumpur di dasar wadah tidak ikut terambil.
Biji kelor terbukti sangat efektif dalam menurunkan tingkat kekeruhan air dan juga dapat membantu mengurangi kadar beberapa logam terlarut seperti besi (Fe). Selain kemampuannya sebagai koagulan, beberapa studi juga menunjukkan bahwa biji kelor memiliki sifat antimikroba ringan, meskipun efek ini umumnya tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai satu-satunya metode disinfeksi. Penggunaan biji kelor sebagai tahap pra-perlakuan sebelum air dimasukkan ke dalam sistem filter multi-media dapat memberikan manfaat tambahan, yaitu mengurangi beban padatan yang masuk ke filter, sehingga memperpanjang umur pakai media filter dan mengurangi frekuensi pembersihan filter. Lebih jauh lagi, mendorong masyarakat untuk menanam pohon kelor di pekarangan rumah tidak hanya menyediakan bahan penjernih air yang berkelanjutan tetapi juga memberikan akses terhadap sumber pangan bergizi tinggi (daun kelor dapat dikonsumsi sebagai sayuran). Ini merupakan pendekatan terintegrasi yang mendukung ketahanan pangan dan kesehatan lingkungan.
4.3. Metode Disinfeksi Air untuk Keamanan Tambahan
Meskipun air hujan telah melalui proses first-flush, koagulasi, dan filtrasi, kemungkinan masih terdapat sisa mikroorganisme patogen (bakteri, virus, protozoa) yang dapat menyebabkan penyakit jika air tersebut dikonsumsi atau digunakan untuk keperluan tertentu tanpa disinfeksi. Oleh karena itu, tahap disinfeksi menjadi sangat penting, terutama jika air ditujukan untuk penggunaan yang memerlukan standar kebersihan tinggi atau sebagai air minum.
4.3.1. Solar Water Disinfection (SODIS)
Solar Water Disinfection (SODIS) adalah metode disinfeksi air yang sangat sederhana, murah, dan ramah lingkungan, yang memanfaatkan energi matahari. Prinsip kerja SODIS adalah kombinasi sinergis antara radiasi ultraviolet A (UV-A) dari sinar matahari dan peningkatan suhu air, yang keduanya efektif dalam merusak dan membunuh mikroorganisme patogen.
Panduan praktis untuk melakukan SODIS adalah sebagai berikut:
* Wadah: Gunakan botol plastik transparan (tidak berwarna) jenis PET (Polyethylene Terephtalate) atau botol kaca bening. Botol PET umumnya lebih direkomendasikan karena transmisi sinar UV-A yang lebih baik, ringan, tidak mudah pecah, dan murah. Namun, perlu diperhatikan bahwa botol PET sebaiknya tidak digunakan berulang kali dalam jangka waktu yang sangat lama atau jika sudah terlihat buram, tergores parah, atau berubah bentuk, karena ada kekhawatiran potensi pelepasan senyawa kimia dari plastik jika terpapar panas dan sinar UV berlebih dalam jangka panjang. Botol plastik jenis HDPE (kode daur ulang 2) yang transparan bisa menjadi alternatif yang lebih aman jika tersedia, karena lebih tahan panas. Jika menggunakan botol kaca, pastikan kaca tersebut benar-benar bening dan bukan jenis kaca yang menghalangi sinar UV (misalnya, kaca jendela tebal).
* Kualitas Air Input: Air yang akan didisinfeksi dengan metode SODIS harus sudah relatif jernih, dengan tingkat kekeruhan idealnya di bawah 30 NTU (Nephelometric Turbidity Units). Air yang keruh akan menghalangi penetrasi sinar UV dan melindungi mikroorganisme. Oleh karena itu, tahap koagulasi dan/atau filtrasi sebelumnya sangat penting.
* Pengisian dan Penempatan: Isi botol dengan air jernih hingga hampir penuh (sisakan sedikit ruang udara), kemudian tutup rapat. Letakkan botol-botol tersebut secara horizontal (tiduran) di atas permukaan yang dapat memantulkan sinar matahari (misalnya, seng atau lembaran aluminium) atau di atas atap rumah, di bawah paparan sinar matahari penuh. Pengecatan separuh bagian bawah botol (sisi yang menghadap ke bawah) dengan cat warna hitam dapat membantu meningkatkan penyerapan panas matahari, sehingga suhu air di dalam botol lebih cepat naik.
* Lama Penjemuran:
* Pada hari dengan cuaca cerah (langit tidak berawan atau berawan kurang dari 50%), botol perlu dijemur selama minimal 6 jam.
* Jika cuaca berawan lebih dari 50% (mendung tebal), botol perlu dijemur selama 2 hari berturut-turut untuk memastikan disinfeksi yang efektif.
* Jika suhu air di dalam botol dapat mencapai lebih dari 50°C, maka waktu penjemuran selama 1 jam sudah cukup untuk membunuh patogen. Pengecatan botol dengan warna hitam dapat membantu mencapai suhu ini lebih cepat.
* Kelebihan SODIS: Biaya sangat rendah (hampir nol jika menggunakan botol bekas), tidak memerlukan bahan kimia, dan terbukti efektif jika prosedur diikuti dengan benar.
* Keterbatasan SODIS: Sangat bergantung pada kondisi cuaca (intensitas sinar matahari), kapasitas air yang dapat diolah per siklus relatif kecil (terbatas jumlah botol), dan memerlukan air input yang sudah jernih.
4.3.2. Penambahan Bahan Alami (Opsional, Pendukung SODIS)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penambahan bahan alami tertentu dapat membantu mempercepat proses disinfeksi atau meningkatkan efektivitas SODIS. Salah satu contoh adalah penggunaan air perasan jeruk nipis (Citrus aurantifolia). Studi menunjukkan bahwa penambahan jeruk nipis ke dalam air yang diproses dengan SODIS dapat secara signifikan mempercepat laju inaktivasi bakteri Escherichia coli, bahkan pada suhu yang relatif rendah (misalnya, inaktivasi 5.4 Log E. coli dalam waktu 1 jam pada suhu 32°C). Jeruk nipis mudah didapatkan dan harganya murah di daerah pedesaan, sehingga dapat menjadi bahan pendukung yang praktis, terutama jika kondisi cuaca kurang optimal untuk SODIS standar atau untuk memberikan keyakinan tambahan kepada pengguna mengenai keamanan air. Dosis dan cara aplikasi perlu mengacu pada hasil penelitian yang relevan.
4.3.3. Merebus Air (Jika Ditujukan untuk Air Minum Langsung)
Untuk memastikan tingkat keamanan tertinggi, terutama jika air hasil olahan SPAH akan digunakan sebagai air minum langsung (bukan hanya untuk higiene sanitasi), metode merebus air hingga mendidih (100°C) selama minimal 1 menit tetap merupakan cara disinfeksi yang paling pasti dan direkomendasikan. Proses perebusan akan membunuh hampir semua jenis mikroorganisme patogen, termasuk bakteri, virus, dan kista protozoa yang mungkin tahan terhadap metode disinfeksi lain. Meskipun air telah melalui berbagai tahap pemurnian sebelumnya, merebus adalah langkah pengaman tambahan yang sangat dianjurkan, khususnya untuk dikonsumsi oleh kelompok rentan seperti bayi, anak-anak, lansia, dan orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah.
Bagian V: Desain Terpadu, Implementasi, dan Estimasi Biaya SPAH Skala Rumah Tangga Pedesaan
Merancang sistem SPAH yang terpadu melibatkan penggabungan berbagai komponen yang telah dibahas sebelumnya menjadi satu alur proses yang logis dan efisien. Implementasinya harus mempertimbangkan kemudahan konstruksi dengan material lokal, sementara estimasi biaya menjadi faktor penting untuk memastikan keterjangkauan bagi masyarakat pedesaan.
5.1. Rancangan Sistem SPAH Lengkap dan Terintegrasi
Sebuah sistem SPAH skala rumah tangga yang lengkap dan terintegrasi idealnya mengikuti alur proses sebagai berikut:
* Area Tangkapan (Atap): Air hujan pertama kali kontak dengan permukaan atap.
* Sistem Penyaluran (Talang): Air dari atap dikumpulkan oleh talang dan dialirkan menuju pipa.
* First-Flush Diverter: Sejumlah volume air hujan awal yang paling kotor dialihkan dan dibuang.
* (Opsional) Bak Pra-Pengendapan/Koagulasi: Air yang telah melewati first-flush dapat ditampung sementara di bak ini untuk proses koagulasi menggunakan serbuk biji kelor. Tahap ini membantu mengendapkan partikel halus dan mengurangi beban pada filter. Proses ini bisa dilakukan di ember atau wadah terpisah sebelum air dimasukkan ke filter.
* Filter Multi-Media: Air kemudian dialirkan secara gravitasi melalui filter yang berisi lapisan kerikil, arang aktif, dan pasir untuk menghilangkan kekeruhan, bau, rasa, warna, dan sebagian mikroorganisme.
* Wadah Penampungan Air Bersih: Air yang telah tersaring disimpan dalam wadah penampungan utama (drum, tandon, atau bak semen) yang bersih dan tertutup.
* (Opsional) Disinfeksi Akhir: Jika air akan digunakan untuk minum, air dari wadah penampungan diambil dan didisinfeksi lebih lanjut menggunakan metode SODIS atau direbus.
Tata letak komponen sistem harus dirancang sedemikian rupa untuk memaksimalkan aliran secara gravitasi, sehingga meminimalkan atau meniadakan kebutuhan akan pompa. Misalnya, first-flush diverter dan filter ditempatkan pada elevasi yang lebih tinggi dari wadah penampungan utama. Fleksibilitas dalam desain juga penting. Sistem dapat bersifat modular, artinya komponen-komponen tertentu dapat ditambahkan atau ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan ketersediaan sumber daya dan kebutuhan pengguna. Sebagai contoh, tahap koagulasi dengan biji kelor dapat dilakukan secara batch (per takaran) dalam wadah terpisah sebelum air dimasukkan ke dalam filter, atau dapat diintegrasikan dengan membangun bak pra-filter khusus jika memungkinkan.
5.2. Panduan Konstruksi Bertahap dengan Material Lokal
Konstruksi sistem SPAH sederhana dapat dilakukan oleh masyarakat dengan panduan dan pelatihan dasar. Berikut adalah langkah-langkah umum:
* Pembuatan First-Flush Diverter:
* Siapkan pipa PVC (misalnya diameter 3 inci) dengan panjang yang sesuai untuk menampung volume first-flush yang diinginkan (lihat Tabel 1).
* Pasang dop penutup di salah satu ujung pipa (bagian bawah) dan buat lubang kecil atau pasang kran kecil untuk pembuangan.
* Di ujung pipa lainnya (bagian atas), pasang sambungan T. Satu sisi T dihubungkan ke pipa dari talang, sisi lainnya dihubungkan ke pipa yang menuju filter/penampungan.
* Masukkan bola plastik ringan ke dalam pipa vertikal first-flush. Pastikan bola dapat bergerak bebas dan dapat menyumbat sambungan T yang menuju filter ketika air terisi.
* Pembuatan Unit Filter Multi-Media (menggunakan drum plastik):
* Siapkan drum plastik bekas (misalnya kapasitas 200 liter) yang sudah dibersihkan.
* Buat lubang inlet di bagian atas sisi drum dan lubang outlet di bagian bawah sisi drum. Pasang pipa dan kran pada lubang outlet.
* Susun material filter di dalam drum sesuai urutan dan ketebalan yang direkomendasikan (lihat Tabel 2 dan mengacu pada untuk detail bahan dan urutan lapisan: dimulai dari lapisan paling bawah yaitu kerikil besar/batu pecah untuk drainase, kemudian kerikil halus, arang aktif, pasir kuarsa halus, ijuk (opsional), pasir kuarsa kasar, dan plat pendistribusi di bagian paling atas). Pastikan setiap lapisan dipadatkan secukupnya.
* Sebelum digunakan, alirkan air bersih melalui filter beberapa kali untuk membersihkan debu atau partikel halus dari media filter baru.
* Penyambungan Komponen:
* Hubungkan pipa dari talang ke inlet first-flush diverter.
* Hubungkan outlet first-flush diverter (jalur air bersih) ke inlet unit filter.
* Hubungkan outlet unit filter ke inlet wadah penampungan utama.
* Gunakan lem PVC dan seal tape untuk memastikan semua sambungan rapat dan tidak bocor.
Keterlibatan tukang lokal yang memiliki pengalaman dalam pekerjaan pipa atau konstruksi sederhana dapat sangat membantu dalam proses instalasi. Pelatihan bagi anggota masyarakat untuk melakukan konstruksi sendiri juga akan meningkatkan rasa kepemilikan dan memudahkan replikasi sistem di rumah tangga lain.
5.3. Analisis Estimasi Biaya Investasi Awal
Salah satu pertimbangan utama dalam pengembangan teknologi tepat guna adalah biaya investasi yang terjangkau. Berikut adalah tabel estimasi biaya untuk membangun satu unit SPAH skala rumah tangga sederhana, dengan beberapa skenario penggunaan wadah penampungan. Harga material dapat bervariasi tergantung lokasi dan waktu pembelian di Tuban.
Tabel 3: Estimasi Rincian Biaya Investasi Awal SPAH Rumah Tangga
| Komponen | Spesifikasi | Estimasi Jumlah | Satuan | Estimasi Harga Satuan (Rp) | Estimasi Total Biaya (Rp) | Catatan |
|———————————————–|———————————————-|—————–|————-|—————————-|—————————|————————————————————————-|
| Area Tangkapan & Penyaluran | | | | | | |
| Talang (PVC atau Bambu) | PVC 3 inci / Bambu diameter 10-15 cm | 10 | meter | 15.000 (PVC) / 5.000 (Bambu) | 150.000 / 50.000 | Harga PVC dari sumber seperti , Bambu (estimasi biaya lokal) |
| Pipa Penyalur PVC | 2 inci | 5 | meter | 10.000 | 50.000 | Harga PVC |
| First-Flush Diverter | | | | | | |
| Pipa PVC | 3 inci | 1.5 | meter | 15.000 | 22.500 | |
| Sambungan T, Dop, Bola Plastik | Sesuai ukuran | 1 | set | 25.000 | 25.000 | Estimasi biaya |
| Unit Filtrasi (Drum Plastik) | | | | | | |
| Drum Plastik Bekas (wadah filter) | 200 L, food-grade (jika mungkin) | 1 | buah | 150.000 – 200.000 | 175.000 | Harga dari sumber seperti |
| Kerikil/Batu Pecah | 20 kg (campuran kasar & halus) | 1 | karung | 20.000 | 20.000 | Bisa gratis jika dikumpulkan, atau harga lokal dari sumber seperti |
| Pasir Kuarsa | 50 kg (campuran kasar & halus) | 1 | karung | 50.000 | 50.000 | Harga pasir , pasir kuarsa mungkin perlu pengolahan |
| Arang Aktif | 5 kg | 1 | paket | 50.000 | 50.000 | Biaya pembuatan/pembelian lokal |
| Ijuk | Secukupnya | 1 | ikat | 10.000 | 10.000 | Harga lokal |
| Kran outlet filter | 0.5 inci | 1 | buah | 15.000 | 15.000 | Estimasi biaya |
| Wadah Penampungan Air Bersih (Opsi 1: Drum) | | | | | | |
| Drum Plastik Bekas | 200 L, food-grade | 2 | buah | 150.000 – 200.000 | 350.000 | Untuk kapasitas total 400L |
| Kran outlet tandon | 0.5 inci | 2 | buah | 15.000 | 30.000 | |
| Wadah Penampungan Air Bersih (Opsi 2: Tandon)| | | | | | |
| Tandon Air PE | 500 L | 1 | buah | 700.000 – 1.200.000 | 950.000 | Harga dari sumber seperti (diambil rata-rata bawah) |
| Kran outlet tandon | 0.5 inci | 1 | buah | 15.000 | 15.000 | |
| Lain-lain | | | | | | |
| Lem Pipa, Seal tape, dll. | Secukupnya | 1 | set | 25.000 | 25.000 | Estimasi biaya |
| Total Estimasi Biaya (Opsi 1: Drum) | | | | | Rp 777.500 | (Menggunakan Talang PVC, 2 Drum Plastik Bekas untuk Penampungan) |
| Total Estimasi Biaya (Opsi 1: Drum, Talang Bambu)| | | | | Rp 677.500 | (Menggunakan Talang Bambu, 2 Drum Plastik Bekas untuk Penampungan) |
| Total Estimasi Biaya (Opsi 2: Tandon) | | | | | Rp 1.332.500 | (Menggunakan Talang PVC, 1 Tandon Air PE 500L untuk Penampungan) |
| Total Estimasi Biaya (Opsi 2: Tandon, Talang Bambu)| | | | | Rp 1.232.500 | (Menggunakan Talang Bambu, 1 Tandon Air PE 500L untuk Penampungan) |
(Catatan: Harga adalah estimasi kasar per Juni 2025 dan dapat bervariasi tergantung lokasi spesifik di Tuban, ketersediaan barang, dan waktu pembelian. Penggunaan material yang dapat dikumpulkan sendiri oleh masyarakat seperti batu, pasir, dan bambu dapat mengurangi biaya investasi secara signifikan.)
Dari tabel estimasi di atas, terlihat bahwa penggunaan material lokal (seperti bambu untuk talang) dan material daur ulang (drum plastik bekas) dapat menekan biaya investasi awal secara signifikan. Biaya operasional sistem ini juga relatif sangat rendah, terutama jika biji kelor dapat ditanam dan dipanen sendiri oleh masyarakat, dan pemeliharaan rutin dilakukan secara mandiri. Aspek biaya rendah ini sangat penting untuk memastikan keberlanjutan sistem di tingkat masyarakat pedesaan.
Bagian VI: Operasional, Pemeliharaan, dan Keberlanjutan Sistem
Keberhasilan jangka panjang dari Sistem Pemanenan Air Hujan (SPAH) tidak hanya bergantung pada desain dan konstruksi awal yang baik, tetapi juga pada operasional yang benar dan pemeliharaan yang rutin oleh pengguna. Tanpa perawatan yang memadai, kinerja sistem akan menurun dan kualitas air yang dihasilkan dapat terganggu.
6.1. Panduan Operasional Sehari-hari
Pengoperasian SPAH yang telah terpasang melibatkan beberapa langkah sederhana yang perlu dilakukan secara rutin oleh pengguna:
* Pengoperasian First-Flush Diverter: Setiap kali hujan akan turun atau baru mulai turun, pastikan katup pembuangan pada first-flush diverter dalam kondisi tertutup. Setelah hujan selesai, atau sebelum hujan berikutnya jika jeda waktu cukup lama, buka katup pembuangan untuk mengosongkan air kotor yang tertampung di dalam pipa first-flush. Ini penting untuk memastikan bahwa hanya air hujan yang relatif lebih bersih yang masuk ke sistem filter dan penampungan.
* Proses Koagulasi dengan Biji Kelor (jika diterapkan): Jika menggunakan tahap koagulasi, lakukan prosedur penambahan serbuk biji kelor, pengadukan cepat, pengadukan lambat, dan pengendapan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Lakukan ini pada air yang akan dimasukkan ke filter atau di dalam bak pra-pengendapan.
* Pengaliran Air melalui Filter dan ke Penampungan: Pastikan aliran air dari first-flush diverter (atau bak koagulasi) menuju filter berjalan lancar. Buka kran inlet ke filter jika ada. Air yang keluar dari filter akan mengalir secara gravitasi ke wadah penampungan utama.
* Pengambilan Air dari Wadah Penampungan: Gunakan kran yang tersedia di wadah penampungan untuk mengambil air sesuai kebutuhan. Jaga kebersihan di sekitar kran.
* Proses SODIS (jika diterapkan untuk air minum): Jika air akan didisinfeksi lebih lanjut dengan SODIS, isi botol-botol PET/kaca yang bersih dengan air dari wadah penampungan (yang sudah tersaring). Jemur botol-botol tersebut di bawah sinar matahari penuh sesuai dengan durasi yang direkomendasikan.
6.2. Jadwal dan Prosedur Pembersihan Komponen SPAH
Pemeliharaan rutin adalah kunci untuk menjaga kinerja optimal dan umur pakai sistem SPAH. Berikut adalah jadwal dan prosedur pembersihan yang direkomendasikan:
Tabel 4: Jadwal dan Prosedur Pemeliharaan Rutin Komponen SPAH
| Komponen | Frekuensi Pemeliharaan | Prosedur Pemeliharaan |
|————————|———————————————————|—————————————————————————————————————————————————–|
| Atap | Setiap 3-6 bulan, atau setelah periode kering panjang dan sebelum musim hujan | Bersihkan permukaan atap dari daun-daun kering, debu, kotoran burung, lumut, dan material lain yang dapat menyumbat talang atau mengkontaminasi air. Sikat jika perlu. |
| Talang | Setiap 3-6 bulan, atau setelah periode kering panjang dan saat terlihat ada sumbatan | Bersihkan talang dari endapan lumpur, daun, dan sumbatan lainnya. Pastikan kemiringan talang masih cukup untuk aliran air yang lancar. Periksa kebocoran. |
| First-Flush Diverter | Setiap setelah hujan | Buka katup pembuangan untuk mengosongkan air kotor. Bersihkan bola apung dan bagian dalam pipa dari endapan atau kotoran yang menempel jika diperlukan. |
| Bak Koagulasi (jika ada)| Setiap setelah penggunaan atau minimal seminggu sekali jika digunakan kontinyu | Buang endapan lumpur hasil proses koagulasi di dasar bak. Sikat dan bilas bak hingga bersih. |
| Unit Filter | | |
| – Lapisan Pasir Atas | Setiap 1-3 bulan (tergantung pada tingkat kekeruhan air masuk dan penurunan laju alir filter) | Jika laju aliran filter menurun drastis, lapisan atas pasir (sekitar 1-2 cm) yang terlihat kotor dan tersumbat perlu dikerok dan dibuang. Ganti dengan pasir bersih yang baru dengan spesifikasi yang sama. Proses ini disebut scraping. |
| – Media Arang Aktif | Setiap 6-12 bulan (tergantung kualitas air dan volume yang difilter) | Arang aktif memiliki kapasitas adsorpsi yang terbatas. Setelah jenuh, arang perlu diganti dengan yang baru. Arang bekas dapat dimanfaatkan sebagai pembenah tanah. Upaya reaktivasi arang skala rumah tangga umumnya sulit dan kurang efektif. |
| – Seluruh Media Filter | Setiap 1-2 tahun (atau jika kinerja filter menurun signifikan meskipun lapisan atas sudah dibersihkan) | Keluarkan seluruh media filter dari wadah. Cuci bersih kerikil dan ijuk (jika masih dalam kondisi baik dan dapat digunakan kembali). Pasir dan arang sebaiknya diganti dengan yang baru. Bersihkan bagian dalam wadah filter secara menyeluruh sebelum media filter dimasukkan kembali. |
| Wadah Penampungan Utama| Setiap 3-6 bulan | Kuras habis air di dalam wadah penampungan. Sikat dinding dan dasar wadah untuk menghilangkan lumut, lendir, dan endapan yang mungkin terbentuk. Bilas hingga bersih sebelum diisi kembali. |
| Kran | Sesuai kebutuhan (periksa secara berkala) | Periksa apakah ada kebocoran pada kran. Bersihkan bagian dalam kran jika aliran air tersumbat oleh kotoran atau endapan. |
| Botol SODIS | Setiap setelah penggunaan | Cuci bersih botol PET atau kaca dengan sabun dan bilas hingga bersih sebelum diisi ulang dengan air untuk proses SODIS berikutnya. Ganti botol PET jika sudah terlihat buram, banyak tergores, atau berubah bentuk. |
Penyusunan jadwal pemeliharaan yang jelas dan mudah diikuti, serta ketersediaan panduan visual (gambar atau diagram sederhana) untuk prosedur pembersihan, akan sangat membantu pengguna dalam menjaga keberfungsian sistem. Kegagalan dalam melakukan pemeliharaan rutin merupakan salah satu penyebab umum tidak berfungsinya sistem penyediaan air di tingkat pedesaan.
6.3. Peran Serta Masyarakat dalam Menjaga Keberfungsian dan Keberlanjutan
Keberlanjutan sistem SPAH sangat bergantung pada partisipasi aktif dan rasa kepemilikan dari masyarakat pengguna. Beberapa aspek penting dalam hal ini meliputi:
* Pelatihan dan Edukasi: Pelatihan yang komprehensif mengenai cara kerja sistem, prosedur operasional harian, dan jadwal serta teknik pemeliharaan harus diberikan kepada seluruh pengguna. Edukasi mengenai pentingnya air bersih dan sanitasi juga perlu ditekankan.
* Pembentukan Kelompok Pengguna Air (KPA) atau Komite Pengelola: Untuk sistem SPAH yang bersifat komunal (digunakan oleh beberapa rumah tangga atau untuk fasilitas umum), pembentukan kelompok pengguna air atau komite pengelola di tingkat komunitas dapat sangat membantu. Kelompok ini dapat bertanggung jawab atas pengelolaan operasional, pemeliharaan, dan pengumpulan iuran (jika diperlukan).
* Pembagian Tanggung Jawab: Harus ada kesepakatan yang jelas mengenai pembagian tanggung jawab untuk melakukan tugas-tugas pemeliharaan rutin. Ini bisa dilakukan secara bergiliran atau dengan menunjuk individu tertentu yang bertanggung jawab.
* Mekanisme Pendanaan Berkelanjutan (untuk SPAH Komunal): Jika SPAH digunakan secara komunal, perlu dipikirkan mekanisme iuran sederhana dari para pengguna. Iuran ini dapat digunakan untuk membiayai penggantian komponen yang rusak atau media filter yang perlu diganti secara periodik, serta untuk biaya operasional lainnya jika ada.
* Pemanfaatan Prinsip PAMSIMAS: Mengadopsi prinsip-prinsip yang telah terbukti berhasil dalam program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS), seperti partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan, adanya kontribusi dari masyarakat (baik berupa tenaga, material lokal, maupun dana tunai), serta pengelolaan yang transparan dan akuntabel oleh komunitas sendiri, dapat secara signifikan meningkatkan keberhasilan dan keberlanjutan implementasi SPAH di Tuban. Model PAMSIMAS menekankan pentingnya rasa memiliki (sense of ownership) dan tanggung jawab bersama dalam pengelolaan sarana air bersih.
Dengan adanya keterlibatan aktif dari masyarakat sejak tahap perencanaan hingga operasional dan pemeliharaan, diharapkan sistem SPAH yang dibangun tidak hanya berfungsi secara teknis tetapi juga dapat bertahan lama dan memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat pedesaan di Tuban.
Bagian VII: Standar Kualitas Air dan Upaya Mencapai Air Siap Pakai
Tujuan akhir dari implementasi SPAH adalah menyediakan air yang aman dan layak untuk digunakan oleh masyarakat. Untuk itu, penting untuk memahami parameter kualitas air yang relevan dan standar baku mutu yang berlaku, serta mengevaluasi sejauh mana teknologi yang diusulkan dapat mencapai standar tersebut.
7.1. Parameter Kualitas Air dan Standar Baku Mutu
Kualitas air dinilai berdasarkan beberapa kelompok parameter, yaitu fisik, kimia, dan bakteriologis. Parameter-parameter yang relevan untuk air hasil olahan SPAH antara lain:
* Parameter Fisik:
* Kekeruhan: Ukuran kejernihan air, disebabkan oleh partikel tersuspensi.
* Warna: Kehadiran zat terlarut atau tersuspensi yang memberikan warna pada air.
* Bau dan Rasa: Sebaiknya tidak berbau dan tidak berasa.
* Suhu: Idealnya mendekati suhu lingkungan.
* TDS (Total Dissolved Solids): Jumlah total zat padat terlarut dalam air.
* Parameter Kimia:
* pH: Tingkat keasaman atau kebasaan air.
* Besi (Fe) dan Mangan (Mn): Logam yang dapat menyebabkan warna, rasa, dan endapan.
* Nitrat dan Nitrit: Senyawa nitrogen yang berpotensi berbahaya jika melebihi ambang batas.
* Parameter Bakteriologis:
* Total Coliform: Kelompok bakteri indikator potensi kontaminasi feses.
* Escherichia coli (E. coli): Bakteri spesifik indikator kontaminasi feses yang lebih akurat.
Standar baku mutu air di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 32 Tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Air Untuk Keperluan Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solus Per Aqua, dan Pemandian Umum. Untuk air yang digunakan untuk keperluan higiene sanitasi (mandi, cuci, kakus), Permenkes ini menetapkan batas maksimum yang diperbolehkan untuk berbagai parameter.
Tabel 5: Standar Baku Mutu Air untuk Keperluan Higiene Sanitasi (Permenkes No. 32 Tahun 2017)
| Parameter | Satuan | Batas Maksimum yang Diperbolehkan |
|——————–|———–|———————————–|
| Fisik | | |
| Kekeruhan | NTU | 25 |
| Warna | TCU | 50 |
| Bau | – | Tidak berbau |
| Rasa | – | Tidak berasa |
| Suhu | °C | Suhu udara ± 3°C |
| TDS | mg/L | 1000 |
| Kimia Anorganik| | |
| pH | – | 6,5 – 8,5 |
| Besi (Fe) | mg/L | 1,0 |
| Mangan (Mn) | mg/L | 0,5 |
| Nitrat (sebagai N) | mg/L | 10 |
| Nitrit (sebagai N) | mg/L | 1 |
| Mikrobiologi | | |
| Total Coliform | CFU/100ml | 50 |
| E. coli | CFU/100ml | 0 |
(Catatan: Tabel ini disarikan dari lampiran Permenkes No. 32 Tahun 2017 untuk parameter yang paling relevan dengan SPAH. Untuk daftar lengkap dan detail, pengguna disarankan merujuk langsung ke dokumen peraturan asli. Penting dicatat bahwa standar untuk air minum umumnya lebih ketat, terutama untuk parameter mikrobiologi dimana Total Coliform juga harus 0 CFU/100ml).
Penting untuk membedakan antara standar “air untuk higiene sanitasi” dengan standar “air minum”. Target utama dari sistem SPAH yang diusulkan dalam penelitian ini adalah untuk memenuhi standar kualitas air untuk keperluan higiene sanitasi. Untuk dapat digunakan sebagai air minum, air hasil olahan SPAH mutlak memerlukan langkah disinfeksi akhir yang efektif dan terkontrol, seperti metode SODIS yang dilakukan dengan benar atau, yang paling aman, dengan cara direbus hingga mendidih. Mencapai standar air minum (misalnya, E. coli = 0 CFU/100ml dan Total Coliform = 0 CFU/100ml) secara konsisten hanya dengan filtrasi dan koagulasi alami mungkin sulit, mengingat variabilitas kualitas air hujan awal dan potensi re-kontaminasi.
7.2. Evaluasi Potensi Kualitas Air Hasil Olahan SPAH terhadap Standar
Setiap tahap dalam sistem SPAH yang dirancang memiliki kontribusi dalam meningkatkan kualitas air:
* First-Flush Diverter: Efektif mengurangi beban kontaminan awal, terutama partikel kasar, debu, dan polutan yang terakumulasi di atap.
* Koagulasi dengan Biji Kelor: Sangat efektif dalam menurunkan kekeruhan dengan mengikat partikel-partikel tersuspensi menjadi flok yang lebih besar sehingga mudah diendapkan. Penelitian menunjukkan biji kelor mampu menurunkan kekeruhan dari 35,3 NTU menjadi di bawah 1,05 NTU, dan kadar besi (Fe) dari 1,679 mg/L menjadi di bawah 0,0087 mg/L, sehingga memenuhi standar Permenkes.
* Filtrasi Multi-Media: Lapisan pasir dan arang efektif menghilangkan sisa kekeruhan, warna, bau, dan rasa. Filter pasir lambat, dengan terbentuknya schmutzdecke, juga sangat efektif dalam menghilangkan bakteri dan virus.
* SODIS: Jika dilakukan dengan benar (air input jernih, paparan sinar matahari cukup), SODIS efektif membunuh atau menginaktivasi mikroorganisme patogen, termasuk bakteri seperti E. coli dan virus, sehingga air lebih aman untuk dikonsumsi.
Dengan kombinasi tahapan-tahapan tersebut, potensi untuk mencapai standar kualitas air untuk keperluan higiene sanitasi sangat besar. Kekeruhan dapat diturunkan secara signifikan, warna dan bau dapat dihilangkan, dan kandungan bakteri dapat ditekan. Namun, efektivitas sistem secara keseluruhan sangat bergantung pada beberapa faktor:
* Kualitas Air Hujan Awal: Tingkat polusi udara dan kebersihan atap akan sangat mempengaruhi beban kontaminan yang masuk ke sistem. Variasi kualitas udara di Tuban berarti kualitas air hujan yang dipanen juga dapat bervariasi.
* Kepatuhan terhadap Prosedur Operasional: Pengoperasian first-flush diverter yang benar, dosis koagulan yang tepat, dan laju alir filter yang sesuai sangat penting.
* Pemeliharaan Rutin: Pembersihan komponen sistem, terutama media filter, secara terjadwal akan menjaga kinerja optimal. Jika filter tersumbat atau media arang sudah jenuh, efektivitasnya akan menurun drastis.
* Desain dan Konstruksi yang Baik: Tidak adanya kebocoran, susunan media filter yang benar, dan perlindungan terhadap kontaminasi eksternal juga krusial.
7.3. Rekomendasi untuk Pengujian Kualitas Air Sederhana di Tingkat Komunitas
Untuk memastikan bahwa air hasil olahan SPAH aman digunakan, pengujian kualitas air secara berkala perlu dilakukan. Meskipun pengujian laboratorium lengkap mungkin sulit diakses atau mahal bagi masyarakat pedesaan, ada beberapa metode pengujian sederhana yang dapat dipertimbangkan:
* Pengamatan Fisik: Secara visual, amati kejernihan air (tidak keruh), warna (tidak berwarna), dan cium baunya (tidak berbau). Air juga sebaiknya tidak memiliki rasa yang aneh. Meskipun subjektif, ini adalah indikasi awal kualitas air.
* Tes Kekeruhan Sederhana: Dapat dilakukan dengan membandingkan kejernihan sampel air dengan air bersih dalam botol transparan, atau menggunakan tabung uji kekeruhan sederhana (misalnya, tabung dengan tanda silang di dasarnya yang diamati dari atas).
* Pengujian pH: Kertas lakmus atau pH meter digital sederhana (jika tersedia) dapat digunakan untuk mengukur pH air, memastikan berada dalam rentang yang aman (6,5 – 8,5).
* Pengujian Bakteriologis Sederhana: Untuk indikasi kontaminasi bakteriologis, dapat dijajaki penggunaan test kit lapangan untuk E. coli atau Total Coliform, seperti metode Petrifilm atau Hydrogen Sulfide (H2S) paper strip test. Metode H2S paper strip test relatif murah dan mudah digunakan, di mana perubahan warna strip menjadi hitam setelah inkubasi menunjukkan adanya bakteri penghasil H_2S yang sering berasosiasi dengan kontaminasi feses.
Meskipun pengujian sederhana ini dapat memberikan indikasi, sangat disarankan untuk bekerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat atau laboratorium terakreditasi untuk melakukan pengujian kualitas air yang lebih komprehensif secara periodik (misalnya, setiap 6 bulan atau setahun sekali). Hasil pengujian ini dapat digunakan untuk memvalidasi efektivitas sistem SPAH dan memberikan keyakinan kepada masyarakat mengenai keamanan air yang mereka gunakan.
Bagian VIII: Kesimpulan dan Rekomendasi Implementatif
8.1. Ringkasan Keunggulan dan Potensi Teknologi SPAH yang Diusulkan untuk Tuban
Berdasarkan analisis kondisi Kabupaten Tuban yang cenderung kering, kualitas udara yang memerlukan perhatian, serta ketersediaan sumber daya material lokal, sistem pemanenan dan pemurnian air hujan (SPAH) yang diusulkan dalam penelitian ini menawarkan solusi yang menjanjikan dan tepat guna. Kombinasi dari komponen-komponen berikut:
* Area tangkapan atap yang bersih.
* Sistem penyaluran dengan talang dan pipa yang efisien.
* Teknologi first-flush diverter sederhana untuk membuang aliran air hujan pertama yang kotor.
* Proses koagulasi alami menggunakan serbuk biji kelor (Moringa oleifera) untuk mengurangi kekeruhan dan kandungan logam.
* Filtrasi multi-media menggunakan material lokal seperti pasir kuarsa, kerikil/batu pecah, dan arang aktif buatan sendiri untuk menyaring partikel halus, menghilangkan bau, rasa, dan warna.
* Wadah penampungan yang aman dan tertutup.
* Metode disinfeksi akhir seperti Solar Water Disinfection (SODIS) atau perebusan untuk memastikan air aman dikonsumsi (terutama untuk air minum).
menunjukkan potensi besar untuk menyediakan sumber air bersih alternatif yang berkelanjutan bagi masyarakat pedesaan di Tuban. Keunggulan utama dari teknologi yang diusulkan ini terletak pada:
* Biaya Investasi dan Operasional yang Relatif Rendah: Pemanfaatan material lokal dan daur ulang, serta teknologi yang tidak memerlukan energi listrik atau bahan kimia mahal, membuat sistem ini terjangkau.
* Kemudahan Konstruksi dan Pemeliharaan: Desain yang sederhana memungkinkan masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan dan melakukan pemeliharaan secara mandiri dengan pelatihan dasar.
* Pemanfaatan Sumber Daya Lokal: Optimalisasi penggunaan pasir kuarsa, batugamping, bambu, dan tanaman kelor yang ada di Tuban.
* Peningkatan Kemandirian Masyarakat: Mengurangi ketergantungan pada pasokan air dari luar, terutama di musim kemarau.
* Dampak Kesehatan dan Lingkungan yang Positif: Penyediaan air yang lebih bersih dapat meningkatkan kesehatan masyarakat, sementara pemanfaatan air hujan mengurangi tekanan pada sumber air tanah atau permukaan. Penggunaan koagulan alami juga lebih ramah lingkungan.
8.2. Rekomendasi Langkah-Langkah Implementasi di Tingkat Komunitas
Untuk mewujudkan potensi teknologi SPAH ini di tingkat masyarakat, diperlukan pendekatan implementasi yang terencana dan partisipatif:
* Sosialisasi dan Peningkatan Kesadaran: Mengadakan pertemuan dengan masyarakat untuk menjelaskan manfaat, cara kerja, dan pentingnya SPAH. Mengatasi persepsi negatif atau keraguan mengenai kualitas air hujan.
* Pelatihan Teknis: Memberikan pelatihan praktis kepada perwakilan masyarakat atau tukang lokal mengenai cara merancang, membangun, mengoperasikan, dan memelihara setiap komponen SPAH.
* Pengembangan Proyek Percontohan (Pilot Project): Membangun beberapa unit SPAH percontohan di beberapa rumah tangga yang bersedia atau di fasilitas umum (misalnya, sekolah, mushola, balai desa). Proyek percontohan ini akan menjadi sarana pembelajaran dan demonstrasi bagi masyarakat luas.
* Pendampingan dan Monitoring Awal: Memberikan pendampingan intensif selama tahap awal implementasi dan operasional untuk membantu mengatasi masalah teknis yang mungkin timbul dan memastikan sistem berfungsi dengan baik. Melakukan monitoring kualitas air secara berkala.
* Penguatan Kelembagaan Lokal: Mendorong pembentukan Kelompok Pengguna Air (KPA) atau komite pengelola SPAH di tingkat dusun atau desa, terutama untuk sistem komunal. Kelompok ini dapat bertanggung jawab atas operasional, pemeliharaan, dan pengelolaan iuran jika ada.
* Kerja Sama Lintas Sektor: Melibatkan pemerintah desa, tokoh masyarakat, organisasi perempuan (PKK), kelompok pemuda (Karang Taruna), Dinas Kesehatan, BPBD, dan LSM terkait untuk mendukung program implementasi SPAH.
* Promosi Penanaman Kelor: Mendorong dan memfasilitasi penanaman pohon kelor secara luas di pekarangan rumah dan lahan kosong sebagai sumber koagulan alami yang berkelanjutan dan sumber pangan tambahan.
8.3. Saran untuk Penelitian dan Pengembangan Lebih Lanjut
Meskipun teknologi yang diusulkan sudah cukup matang untuk diimplementasikan, beberapa area penelitian dan pengembangan lebih lanjut dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas dan keberlanjutannya di konteks lokal Tuban:
* Optimasi Desain Filter dengan Material Lokal Spesifik Tuban: Melakukan karakterisasi lebih detail terhadap pasir kuarsa dan jenis batuan lokal lainnya di Tuban untuk menentukan ukuran butir, komposisi, dan metode preparasi yang paling optimal untuk aplikasi filtrasi air hujan.
* Studi Jangka Panjang Efektivitas dan Keberlanjutan SPAH: Melakukan studi longitudinal untuk mengevaluasi kinerja sistem SPAH yang telah diimplementasikan dalam jangka waktu yang lebih lama (beberapa tahun), termasuk analisis kualitas air secara periodik, daya tahan material, dan tingkat adopsi serta partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan.
* Analisis Dampak Sosial-Ekonomi dan Kesehatan: Mengkaji secara kuantitatif dan kualitatif dampak penerapan SPAH terhadap aspek sosial (misalnya, pengurangan waktu pengambilan air oleh perempuan dan anak-anak), ekonomi (penghematan biaya pembelian air), dan kesehatan (penurunan insiden penyakit terkait air) di tingkat rumah tangga dan komunitas.
* Pengembangan Metode Reaktivasi Arang Skala Rumah Tangga yang Efektif dan Aman: Meneliti metode sederhana, murah, dan aman untuk mereaktivasi arang yang telah jenuh, sehingga dapat digunakan kembali dan mengurangi limbah serta biaya penggantian.
* Kajian Adaptasi Sistem terhadap Perubahan Iklim: Menganalisis bagaimana sistem SPAH dapat diadaptasi untuk menghadapi variabilitas dan perubahan pola curah hujan di masa depan akibat perubahan iklim.
Dengan implementasi yang cermat dan dukungan berkelanjutan, teknologi pemanenan dan pemurnian air hujan ini memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu solusi kunci dalam mengatasi tantangan ketersediaan air bersih di wilayah pedesaan kering seperti Kabupaten Tuban, sekaligus meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan masyarakat.
Daftar Pustaka
* Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). (tanpa tanggal). Prakiraan Cuaca Kabupaten Tuban. Diakses dari https://www.bmkg.go.id/cuaca/prakiraan-cuaca/35.23
* BMKG Jawa Timur. (2025). Prakiraan Bulanan Sifat Hujan di Kabupaten Tuban untuk 6 Bulan ke Depan. Diakses dari https://staklim-malang.info/index.php/prakiraan-bulanan/4262-prakiraan-bulanan-untuk-6-bulan-ke-depan-di-provinsi-jawa-timur/prakiraan-bulanan-sifat-hujan-untuk-6-bulan-ke-depan-di-provinsi-jawa-timur/555561209-prakiraan-bulanan-sifat-hujan-di-kabupaten-tuban-untuk-6-bulan-ke-depan-2
* Data.bnpb.go.id. (tanpa tanggal). Kekeringan Pulau Jawa. Diakses dari https://data.bnpb.go.id/pages/kekeringan-pulau-jawa
* Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Buleleng. (tanpa tanggal). Pengertian dan Pengelolaan Sampah Organik dan Anorganik. Diakses dari https://dlh.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/pengertian-dan-pengelolaan-sampah-organik-dan-anorganik-13
* Eawag/Sandec. (2002). Solar Water Disinfection (SODIS) Manual. Diakses dari https://ec.europa.eu/echo/files/evaluation/watsan2005/annex_files/SKAT/SKAT1%20-Solar%20disinfection%20of%20water/Manual%20-%20solar%20disinfection%20of%20water%20-%20SODIS.pdf
* Eawag. (tanpa tanggal). Solar Water Disinfection (SODIS). Diakses dari https://www.eawag.ch/en/department/sandec/projects/swp/solar-water-disinfection-sodis
* Handoko, T. Y. A., & Ananda, R. (2022). Pembuatan Penyaring Air Sederhana Menggunakan Bahan–Bahan Alami dipadukan dengan Saringan Industri Untuk Pedesaan. Jurnal Pengabdian Aceh, 2(4), 227–233. Diakses dari https://jpaceh.org/index.php/pengabdian/article/download/163/123/133
* Indonetwork. (2019). Jual Pipa PVC Poly Vinil Chloride Jawa Timur. Diakses dari https://www.indonetwork.co.id/product/pipa-pvc-poly-vinil-chloride-5868865
* IQAir. (2025). Data Kualitas Udara Tuban. Dalam Kompas.com, Indeks Kualitas Udara di Jawa Timur Hari Ini, Minggu 8 Juni 2025. Diakses dari https://www.kompas.com/jawa-timur/read/2025/06/08/070822788/indeks-kualitas-udara-di-jawa-timur-hari-ini-minggu-8-juni-2025
* Kementerian Kesehatan RI. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 32 Tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Air Untuk Keperluan Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solus Per Aqua, dan Pemandian Umum. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/112092/permenkes-no-32-tahun-2017 dan https://www.regulasip.id/themes/default/resources/js/pdfjs/web/viewer.html?file=/eBooks/2018/November/5be13c1ebf990/Permenkes%20No.32%20Tahun%202017.pdf
* Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) ITB & LCDI Indonesia. (2023). Pemanenan Air Hujan (PAH) sebagai Alternatif Sumber Air untuk Masyarakat Perkotaan. Diakses dari https://lcdi-indonesia.id/2023/12/06/pemanenan-air-hujan-pah-sebagai-alternatif-sumber-air-untuk-masyarakat-perkotaan/
* Pemerintah Kabupaten Tuban. (2016). Peraturan Bupati Tuban Nomor 12 Tahun 2016. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Download/229263/perbup%20no%2012%20%20tahun%202016.pdf
* Pemerintah Kabupaten Tuban. (2024). Petakan Wilayah Kekeringan, BPBD Tuban Didistribusikan Air Bersih Lewat Program Mas Lindra Berkibar. Diakses dari https://www.tubankab.go.id/entry/petakan-wilayah-kekeringan-bpbd-tuban-didistribusikan-air-bersih-lewat-program-mas-lindra-berkibar
* Pratama, Y. E., dkk. (2018). Pengaruh Sifat Keteknikan Tanah Terhadap Gerakan Tanah Pada Kuari Batugamping Blok Z-19 PT. Semen Indonesia (Persero) Unit Tuban Desa Merkawang, Kecamatan Tambakboyo, Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan (SNTEKPAN) VII. Diakses dari https://ejurnal.itats.ac.id/sntekpan/article/download/1384/1181
* Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM. (2021). Menjajaki Langkah Pemanenan Air Hujan. Diakses dari https://pslh.ugm.ac.id/menjajaki-langkah-pemanenan-air-hujan/
* Repository Pertanian. (tanpa tanggal). Materi Bimbingan Teknis Inovasi Teknologi Pertanian (Kelor). Diakses dari https://repository.pertanian.go.id/bitstreams/f6357cd3-aa3e-4bea-a7f7-878dbe57e432/download
* Saputra, R. A. H., dkk. (2023). Penggunaan Biji Kelor (Moringa oleifera L.) dan Biji Asam Jawa (Tamarindus indica L.) pada Penjernihan Air Sumur Bor Melalui Proses Koagulasi dan Flokulasi dengan Metode Sentrifugasi. Journal of Physicists (JoP), 9(1), 55-60. Diakses dari https://online-journal.unja.ac.id/jop/article/download/27728/16631/84400
* Scribd user (anonim). (tanpa tanggal). Saringan Air Sederhana.ppt. Diakses dari https://id.scribd.com/doc/276662994/Saringan-Air-Sederhana-ppt
* Setiawan, Y. (2010). SODIS (Solar Water Disinfection): Metode Praktis Mendapatkan Air Layak Minum yang Bebas Bakteri. Artikel Ilmiah Pertanian Berbasis Web TPB IPB. Diakses dari https://id.scribd.com/document/397367669/SODIS-Solar-Water-Disinfection-Metode-Praktis-Mendapatkan-Air-Layak-Minum-Yang-Bakteri
* Sihwailil, A., & Al Majid, M. I. N. (2024). Analisis Potensi Sebaran Tanah Liat Menggunakan Metode Geolistrik Resistivitas Konfigurasi Wenner-Schlumberger di Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban. Jurnal Geosains dan Teknologi (JGIT), 7(1). Diakses dari https://jurnal.ugm.ac.id/jgise/article/download/88417/38143
* Siregar, S. A. (2014). Uji Efektivitas Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) dalam Mempercepat Laju Disinfeksi Bakteri Escheria Coli pada Proses Solar Water Disinfection. Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan, 6(1), 14-25. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/309816628_Uji_Efektivitas_Jeruk_Nipis_Citrus_aurantifolia_dalam_Mempercepat_Laju_Disinfeksi_Bakteri_Escheria_Coli_pada_Proses_Solar_Water_Disinfection
* Tengger Satu. (tanpa tanggal). Kode Spesifikasi Satuan Harga (SSH). Diakses dari https://tenggersatu.id/ssh
* Tiwa.co.id. (2024). Cara Merawat dan Membersihkan Filter Air untuk Performa Yang Maksimal. Diakses dari https://www.tiwa.co.id/cara-merawat-dan-membersihkan-filter-air-untuk-performa-yang-maksimal.html
* Tomorrow.io. (tanpa tanggal). Weather and Air Quality in Kabupaten Tuban, Indonesia. Diakses dari https://www.tomorrow.io/weather/id/ID/JI/Kabupaten_Tuban/056686/health/
* Tokopedia. (2025). Jual Drum Plastik 200 Liter Murah & Terbaik – Harga Terbaru Juni 2025. Diakses dari https://www.tokopedia.com/find/drum-plastik-200-liter
* Tokopedia. (2025). Jual Tangki Air Penguin 500 Liter Terbaik – Harga Murah Juni 2025. Diakses dari https://www.tokopedia.com/find/tangki-air-penguin-500-liter
* Umurrudin, A., Khatulistiani, U., & Soerjandani. (2018). Pasir Kuarsa Tuban sebagai Bahan Substitusi Semen dan Batu Pecah Substitusi Pasir untuk Campuran Paving. Axial, Jurnal Rekayasa dan Manajemen Konstruksi, 6(1), 47-52. Diakses dari https://journal.uwks.ac.id/index.php/axial/article/download/474/429
* Walisongo Journal of Chemistry. (2017). Analisis Efektivitas Biji dan Daun Kelor (Moringa oleifera) Untuk Penjernihan Air. Walisongo Journal of Chemistry, 1(2), 60-65. Diakses dari https://journal.walisongo.ac.id/index.php/wjc/article/view/3103/1787
* World Bank. (2015). PAMSIMAS: Menjawab Tantangan Air Minum dan Sanitasi di Wilayah Perdesaan Indonesia. Diakses dari https://documents1.worldbank.org/curated/ru/257891467999387680/pdf/101178-BAHASA-WP-P085375-PUBLIC-Box393259B.pdf
* Yuliati, L., dkk. (2021). Pengelolaan Sampah Menjadi Barang Bernilai Ekonomi di Lingkungan Kelurahan Tanjung Duren. Jurnal Pengabdian Masyarakat (ANDHARA). Diakses dari https://jurnal.undira.ac.id/andhara/article/download/108/72/525
* Zulaikah, S., Christiana, I., & Margaretta, C. (2012). Evaluasi Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) di Kecamatan Tembalang. Artikel. Neliti. Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/178284-ID-evaluasi-program-penyediaan-air-minum-da.pdf
Teknologi Tepat Guna Pemanenan dan Pemurnian Air Hujan Menjadi Air Siap Pakai untuk Masyarakat Pedesaan di Kawasan Kering Kabupaten Tuban: Sebuah Kajian Komprehensif
